Love You So

Beberapa waktu lalu heboh diberitakan terjadinya bentrokan antara murid-murid SMA dengan para wartawan. Peristiwa ini menjadi sangat menarik perhatian banyak pihak karena melibatkan murid-murid dari salah satu SMA favorit di Jakarta dan juga wartawan dari berbagai media besar Ibukota. Semakin menghebohkan karena kedua belah pihak merasa dirinya benar dan sama sekali tak mau dipersalahkan. Aku sendiri, yang mengikuti berita melalui media internet, merasa kebingungan atas adanya peristiwa ini.

Tak mengerti mengapa bisa sampai terjadi bentrokan yang mengakibatkan banyak orang terluka.
Heran mengapa semakin sering muncul kata ‘bentrokan’, ‘kerusuhan’, ‘pertikaian’.
Prihatin karena tampaknya sekarang ini orang lebih menggunakan emosi ketimbang akal sehatnya.
Aku sempat melihat beberapa foto di internet. Tepat menggambarkan suasana kerusuhan tersebut. Beberapa anak laki-laki mengenakan seragam putih abu-abu terlihat sedang mengumpat dan wajah mereka seakan ingin menerkam. Mengerikan, mengingat dengan seragam putih abu-abu tersebut seharusnya mereka duduk manis di dalam kelas dan belajar.
Tapi nyatanya mereka ada di jalanan.
Aku tak tahu siapa salah dan siapa yang benar. Tapi aku sempat berpikir: ‘Apa ya yang ada di benak anak-anak SMA itu saat melayangkan jotos, tinju, atau bogem? Apakah mereka ingat orangtua mereka?’

Yup! Tiba-tiba aku memikirkan sosok orangtuaku.
Orangtua dari murid-murid SMA itu pasti berharap anak mereka belajar dengan baik di sekolahnya. Orangtua mana yang bercita-cita anaknya menjadi tukang jotos atau tukang pukul? Cukup miris saat melihat anak-anak itu berlomba mengeluarkan emosi mereka. Seperti tak memikirkan orangtua mereka di rumah yang berharap mereka menjadi sosok yang berguna. Hanya bisa berharap saat melayangkan kepalan tinju, mereka teringat akan ayah ibu mereka yang menaruh harapan besar kepada mereka. Harapan yang jauh lebih mulia ketimbang menjadi preman jalanan.

Aku sendiri, sebagai anak, bukannya tak pernah melakukan hal nakal. Tapi memang nakalku masih cetek, tak sampai tawuran pastinya… (malu kali kalau sampe anak perempuan adu tinju.. hehehe..) Aku boleh berbangga hati karena semasa sekolah dari TK hingga SMA, tak pernah ada niatan untuk kabur dari sekolah atau bolos. Mungkin ini karena didikan ayahku yang tak pernah mengizinkan anak-anaknya absen dari sekolah. Aku dan adikku harus sakit tak berdaya baru diizinkan beristirahat di rumah. Bila hanya pilek atau batuk, tak ada kata bolos di rumahku. Aku tetap harus masuk sekolah.
Saat itu aku cemberut, kesal pada ayahku yang sepertinya tak mengerti keadaan anaknya. Tapi sekarang aku bersyukur atas didikan tersebut. Itulah yang membangun rasa disiplinku hingga saat ini.

Memasuki dunia kuliah, kenakalanku muncul.
“Vel, kita ga usa kuliah yuk! Boring mata kuliah hari ini…”
Tanduk iblis mulai muncul di kepalaku. Rasanya ingin ikut teman-temanku: madol.
Tapi saat aku akan kabur dari kuliahku, aku teringat akan orangtuaku. Pikirku, ‘papi mami telah membayar mahal agar aku bisa kuliah di sini. Mereka juga berharap aku dapat kuliah dengan baik. Tapi masa aku malah bolos… Dosa bangeeeett!!’
Dilema besar aku alami hanya karena masalah bolos kuliah. Akhirnya aku membulatkan hati untuk tetap masuk kelas yang boring tersebut. Aku tak ingin mengecewakan orangtuaku…
Bagaimana mungkin aku tega mengecewakan mereka yang telah bersusah payah menjagaku?
bagaimana mungkin aku tega mengecewakan mereka yang selalu berjuang agar aku mendapatkan yang terbaik?
Salah satu hal yang mempengaruhi caraku bersikap selama ini adalah orangtuaku. Mereka tak pernah mendikteku untuk melakukan A, B, C atau Z. Hanya kesadaran diriku yang mendorongku untuk menjadi orang benar. Kesadaranku atas cinta orangtua yang luar biasa terhadapku. Aku telah dicintai dengan luar biasa. Hal yang bisa kulakukan untuk membalas cinta itu adalah dengan menjalani hidupku sebaik mungkin.

Comments

Popular Posts