My Heart Belongs to Them
Melalui pergumulan panjang sebelum
akhirnya bulat hati menuju Brazil, aku berani berkata bahwa ini keputusan
tepat.
Aku pun semakin yakin bahwa Dia tak pernah meninggalkanku.
Di saat aku bergumul, Dia bersamaku..
Di saat aku mengambil keputusan, Dia besertaku..
Di saat aku menjalani keputusanku, Dia menyertaiku..
Pun saat aku menyaksikan indahnya Sao Paulo, Dia ada di
sampingku.
Kali ini, biar kukisahkan Sao Paulo dan sejuta indahnya..
:)
Sebut kata ‘Sao Paulo’ di hadapanku, kalian akan mendapat
respon dariku, “Bawa aku kembali ke sana!!”
Tapi jujur, bagiku awalnya Brazil hanya sebatas Pele,
Ronaldo, dan bola bundar yang menggelinding dengan suksesnya di lapangan hijau.
Siapa yang tak pernah mendengar Brazil. Tim sepakbolanya salah satu yang
raksasa, yang minimal masuk perempat final Piala Dunia. Kalau diminta
menunjukkan letak Brazil, tentu saja aku bisa dengan cepat. Tapi hanya sebatas
di peta.
Saat memutuskan untuk ikut WYD Brazil, sempat terpikir
olehku, "Itu kan jauh banget yah.. Bisa nyampe sana ga ya?" Ada
banyak keraguan, termasuk tak terbayangkan bagaimana kehidupan di Negeri Samba
tersebut. Juga ketakutan saat harus menghadapi orang-orang Brazil. Pikirku,
"Mereka pasti badannya besar-besar deh, trus pasti sangar deh."
Bahkan jelang keberangkatan, semakin banyak pertanyaanku tentang Brazil. Saat
teman-temanku sibuk mencari informasi tentang negeri itu, aku seakan cuek.
Kubiarkan diriku dengan berjuta rasa penasaran tentang Brazil. Aku memang
sengaja membawa diriku yang tak tahu banyak, yang belum memiliki penilaian
apapun tentang Brazil, karena aku ingin langsung berada di sana dan merasakan
sendiri budaya, keindahan, dan juga masyarakat negara tersebut.
Jauh hari aku telah diinformasikan bahwa dari Jakarta aku
akan tiba di Sao Paulo, Brazil. Aku dan rombongan Indonesia akan tinggal di
rumah warga Paroki St Arnaldus Jansen. Aku juga telah mengetahui nama kedua
orangtuaku di sana. Gege pun telah menyarankan agar aku mencari tahu tentang
keluargaku di Sao Paulo melalui Facebook. Tapi aku membandel, saran Gege tak
kulakukan.. hehehe.. Bukan karena aku tidak tertarik dengan Brazil ataupun
orangtua angkatku. Tapi lebih karena aku ingin menjadikan itu sebagai sebuah
kejutan manis. Aku ingin bertemu keluarga angkatku secara langsung di sana.
17 Juli 2013, waktu Brazil
Aku menjerit dalam
hati, "Braziiillll!" Rasanya wooowww!! Unspeakable..
Lolos dari imigrasi
Sao Paulo, aku pun segera mencari carier raksasaku itu. Dalam sekejap, puluhan
carier telah berada di beberapa troli kami. Kami pun siap keluar dari airport.
Dengan wajah kumal belum mandi, letih kurang tidur, plus tatapan kosong, kami
pun berjalan ke luar sambil memanggul carier dan backpack. Kejutan pertama: aku
hanya bisa terpana dan seakan dibangunkan oleh bunyi gendang Everton dan
teriakan Lucas dan kawan-kawan. Kami disambut oleh OMK Arnaldo Janssen! Serasa
artis atau orang penting. Kupikir, ini pertama kalinya kami bertatap muka, tapi
sambutan mereka seolah menggambarkan betapa dekatnya kami. Kasarnya, bisa saja
OMK tersebut berkata, "Siapa lo? Datang dari mana? Mau ngapain ke Sao Paulo?"
Tapi itu tidak mereka lakukan. Mereka malah mengajak menari, bernyanyi. Bahkan
seolah kami berbicara bahasa yang sama. Seperti tak ada batas. Takjub!
Di dalam bis yang
menjemput kami pun, anak-anak itu tak berhenti bernyanyi, berteriak. Aku bisa
merasakan betapa mereka telah lama menantikan kedatangan kami dan betapa mereka
sangat senang saat kami muncul di hadapan mereka.. hehehe..
Kejutan
kedua pun datang. Tiba di depan gereja, dari dalam bis bisa kulihat puluhan
orang paruh baya berdiri di depan gereja, dekat dengan bis. Kembali aku
terpana, lalu berkata dalam hati, “This
is the first time in my life..”
Kami
pun turun dari bis. Dengan penglihatan yang mulai redup karena kurang tidur,
rasanya aku baru keluar dari pintu ajaib Doraemon. Jelas kudengar tepuk tangan
dan sorak sorai meriah. Lagi-lagi aku merasa seperti orang penting. Dan mereka
yang ada di hadapanku adalah orang-orang berwajah Amerika Latin, wajah yang
cukup asing bagiku dan sedikit menyeramkan. Besar, keriting, ada yang berkulit
gelap, dan mereka banyak! Tapi satu hal yang meyakinkan diriku bahwa aku berada
di tempat yang benar adalah senyum tulus yang mereka pasang di wajah, lengkap
dengan rentangan tangan yang lebar, siap untuk memeluk kami semua orang
Indonesia.
Kalau
dipikir lagi, bagaimana mungkin mereka bisa melakukan hal tersebut? Siapakah
aku? Belum pernah bertemu sebelumnya sudah pasti menjadikan aku dan mereka
sebagai orang asing. Aku dengan wajah yang sangat Asia, mata sipit, tubuh
mungil, rambut lurus harusnya menjadi makhluk aneh di tengah mereka. Tapi
nyatanya dengan penuh sukacita mereka langsung menyambut, memeluk dengan erat,
seakan aku ini anak mereka yang baru saja pulang. Kembali aku berkata dalam
hati, “This is really my first time, and
this is so great!!”
Aku
dan rombongan pun masuk ke dalam gereja yang bagiku lebih cocok disebut kapel
karena bentuknya yang tidak terlalu luas. Baru kali ini kurasakan kerusuhan di
dalam kapel. Kami semua sibuk mencari orangtua angkat, pun dengan mereka yang
heboh mencari anak-anak barunya.. Luar biasa ramainya..
Baru
kali ini pula kurasakan sebuah kapel dengan suasana yang sangat hangat dan
penuh rasa kekeluargaan. Terpaan angin dingin seolah berubah menjadi kehangatan
saat kupandangi satu per satu wajah umat paroki yang penuh dengan sukacita. Aku
dan teman-teman Indonesia bak artis yang baru saja tiba. Kami disambut dan
diterima dengan sangat baik. Aku berkata dalam hati, jadi ternyata ini yang
disebut Diadema.
Entah
bagaimana caranya akhirnya aku dan Karina bertemu dengan keluarga baru kami. Papa
Valdir, Ariana, Diego. Aku adalah seorang yang sangat sulit untuk akrab dengan
orang yang baru kukenal atau baru kutemui. Jadi ada rasa canggung dan sungkan
saat aku bertemu dengan mereka. Ditambah lagi kendala bahasa. Baru kutahu bahwa
mereka tidak berbicara bahasa Inggris, dan kami pun tidak lancar berbahasa
Portugis.
‘Mateng’,
gumamku..
Sebuah
kisah kecil yang sangat menyentuh hatiku saat awal pertemuanku dengan Papa
Valdir, Ariana, dan Diego.
Di
bis, Verby menitipkan tripodnya padaku. Kubawa masuk ke dalam gereja dan
kuletakkan di bangku paling belakang. Setelah perkenalan resmi oleh Padre
Fernando, kami pun diajak untuk makan malam bersama. Aku meminta Karina untuk
masuk dulu ke ruang makan karena aku harus mencari tripod Verby. Tripod itu
lenyap dari tempat aku meletakkannya. Panik!
Dan
kalian tahu apa yang dilakukan keluarga baruku? Mereka bertiga tidak mau masuk
ke ruang makan tanpa aku. Melihat aku kebingungan, mereka pun mengeluarkan
beberapa pertanyaan dalam bahasa Portugis yang sudah pasti tak dapat
kumengerti. Terjadilah kekacauan bahasa untuk pertama kalinya.. hahaha..
Akhirnya
dengan susah payah Diego mencari kata-kata di kertas contekannya dan menunjuk
satu kalimat, “Kamu butuh sesuatu?”
Rasanya….
Wow! Ini pertemuan pertamaku dengan mereka, tapi ada bentuk perhatian luar
biasa dari keluarga ini kepadaku. Bisa kurasakan betapa pedulinya mereka
terhadapku, orang yang sebenarnya asing tapi seolah telah menjadi bagian dari
mereka.
Akhirnya
kutemukan tripod titipan itu. Ingin kujelaskan kepada mereka bahwa tadi aku
mencari tripod. Tapi itu tak berhasil kusampaikan karena bingung bahasa..
hahahaha..
Makan
malam yang meriah dan unik, yang semakin meyakinkanku bahwa warga Paroquia
Arnaldo Janssen telah menyiapkan banyak hal untuk kami, orang Indonesia.
Satu
hal yang baru bagiku: makan nasi menggunakan garpu (dan setelah beberapa hari
di Brazil, aku sadar apa yang aku rindukan dari Indonesia.. SENDOK! hahaha..)
Sweet greetings |
Selesai
makan malam, siap-siap menyambut kejutan selanjutnya. Seperti apakah rumah
baruku di Diadema? Apakah aku akan kerasan di rumah asing tersebut? Apakah aku
akan merepotkan keluarga baruku?
Sekali
lagi aku diperlakukan seperti orang penting. Papa Valdir tidak mengizinkanku
mengangkat carier raksasaku. Dengan bahasa a i u e o tak jelas, aku memaksa
untuk mengangkat sendiri tasku. Tapi dengan bahasa aa ii uu ee oo nya, Papa
lebih memaksa untuk membantuku. Dalam hati aku berkata, “Vel.. Vel.. Sopan
benerrrr luu nyuru-nyuru orang tua angkat tas.. Berat banget lagi..” :(
Tiba
di rumah Papa Valdir, entah mengapa aku langsung jatuh cinta dengan rumahnya.
Nyaman.. Lagi-lagi aku menjadi orang penting. Banyak tulisan ‘SELAMAT DATANG’
di rumah itu, lengkap dengan namaku dan Karina. Juga paket alat mandi lengkap:
handuk, sabun, dan sikat gigi sudah tergeletak manis di kasur yang akan
kutiduri. They have prepared all the best
for me!
Kali
pertama aku berada di rumah itu menjadi sesuatu yang sangat sulit, terutama
dalam hal bahasa. Hanya untuk berkata, “Aku ingin mandi” atau “Aku butuh gelas”
saja menjadi sebuah perjuangan besar. Beruntung Ariana memiliki laptop lengkap
dengan wifi. Google Tradutor menyelamatkan kami.. hahaha..
Malam
menjelang.. Meski Jakarta sudah menyambut matahari, tak sulit bagiku
menyesuaikan jam tidur yang bertolak belakang. Dinginnya angin Diadema
menyentuh kulitku. Kutarik selimut terhangat yang pernah kudapat. Kupejamkan
mataku dan tak terasa air mengalir dari sudut mataku. Airmata untuk menggambarkan
betapa bersyukurnya aku atas semua hal.. Thank
You, Jesus.. For every single thing..
Pertemuan Pertama.. :) |
I'm sure this was made with love.. :) |
18 Juli 2013, waktu
Brazil..
Sarapan pertamaku di Diadema, di
rumah yang penuh kehangatan ini. Secangkir susu coklat hangat dan roti terasa
begitu nikmat. Meja makan dan dapur yang nyaman membuatku betah berlama-lama di
situ hingga aku dan Karina terlambat datang ke gereja untuk misa pagi.
Di tengah perjalanan menuju gereja,
untuk pertama kalinya aku bertemu Mama Marta yang baru pulang dari tugas
malamnya sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Kesan pertamaku, tak ada yang
istimewa kecuali tawa lepas yang Mama Marta miliki. Tak kenal dan belum pernah
bertemu, dia memeluk aku dan Karina.
Tiba dengan nafas tersengal, rasanya
sungkan memasuki gereja. Ditambah takut akan dihukum oleh Padre Fernando,
karena Padre berdiri tepat di tengah altar yang sudah pasti langsung melihat
aku yang baru saja tiba di pintu utama gereja. Syukurlah itu tidak terjadi. Ga
lucu ya kalau aku disetrap di depan selama misa.. hahaha..
Misa pagi itu dibawakan dalam bahasa
Portugis. Seperti ‘bebek denger gluduk’ hahaha.. Tapi keadaan seperti itulah
yang membuatku amat bangga menjadi seorang Katolik.. :)
Saat doa Bapa Kami, seperti terjadi
perang antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Portugis. Aku ingat apa yang
dikatakan Padre Fernando setelah kami selesai adu balap mendaraskan Bapa Kami. “Baru
saja terjadi kekacauan di sini. Semoga Tuhan selalu mengerti apa yang kita
semua ucapkan barusan,” demikian Padre berkata. Aku pun tertawa dan semakin
mengagumi ajaibnya Tuhan, yang ada di manapun, yang mengerti apa yang setiap
umatnya doakan.
Selesai misa, kami rombongan
Indonesia bersama dengan teman-teman Diadema menuju tempat, mirip gelanggang
olahraga untuk salah satu kegiatan Semana Missionaria. Kehebohan dan keseruan
mulai terjadi. Bertemu banyak sekali anak muda dari negara-negara lain menjadi
satu pengalaman baru bagiku. Kami tak kenal satu sama lain, kami baru bertemu
saat itu, dan kami berbeda. Satu yang menyatukan kami: Katolik.. :)
with Argentinians |
19 Juli 2013, waktu Brazil..
Pagi
ini kami mengikuti misa di komunitas lain. Santa Terezinha, yang hanya berjarak
20 langkah dari rumah Papa Valdir.. Horraayyy! Hehehe..
Kalian
akan bosan dengan kalimat ini tapi aku akan sering mengulangnya. Berada di
Brazil, terutama di Diadema menjadi suatu hal yang amat sangat aku syukuri.
Terlalu banyak hal yang sampai tak bisa kusebutkan satu per satu mengapa aku
sangat bersyukur.. :)
Ya,
aku sangat bersyukur untuk setiap detik keberadaanku di Diadema!
Bahkan
misa di Santa Terezinha pun tak henti membuatku bersyukur karena Dia baik.
Hari
ini menjadi hari yang sangat padat dan melelahkan, tapi penuh makna. I thank Lord for He made this day..
Perjalanan
dari Santa Terezinha menuju Botanical Garden menjadi perjalanan yang cukup
panjang. Indah dan asrinya Botanical Garden seolah menghapus lelahku. Kali ini
mencoba gaya hidup orang bule.. PIKNIK! Aheeeyyy!! :))
Mereka,
warga paroki telah menyiapkan banyak makanan dan minuman untuk kami santap di
taman tersebut. Udara yang sejuk menambah nikmat roti keras dan daging saos
tomat, juga bolu ayam buatan Mama Marta. Ditambah bernyanyi dan menari bersama
mereka semua. Aiiihhh.. Nikmat dan asoy.. hahaha..
Di
Jakarta? Jangaaannn berharappp!!! Nemu taman saja sulit! Hahaha..
Selesai
dari Botanical Garden, kami semua menuju Katedral di tengah kota Sao Paulo.
Mirip Katedral di Jakarta, hanya saja ini versi besarnya.. hehehe.. Selalu ada
rasa kagum setiap kali memasuki gereja Katolik. Hanya bisa terucap kata: luar
biasa!
Rintik
hujan malah mengiring perjalanan pulang kami ke Diadema. Rasa lelah semakin
terasa.
Tiba
di rumah, lelah itu lenyap!! Karena es buah segar ini. Peluk Mama Marta! Hehehe..
Trust me, friends.. This really sweet and delicious.. Gostoso! Hehehe..
Wanna try some? :P |
Lelah
lenyap, berganti kepanikan. Malamnya, ada satu acara penting bagi Indonesia dan
juga bagi Brazil: CULTURE NIGHT.
Sejak
persiapan di Jakarta, aku bersama Nory, Fani, Yaya, Erika, dan Evi memang telah
sepakat untuk menampilkan tarian Yapong. Minimnya waktu latihan dan kondisi
kami yang saat itu telah sangat lelah membuat kami ragu. Gege seolah mengerti
kegelisahan hati kami. Jujur, aku pribadi saat itu ingin sekali membatalkan
tarian Yapong. Aku sudah sering menari rohani, di hadapan banyak orang. Tapi
kali ini berbeda, seperti ada ketakukan dan keraguan besar. Bagiku, sangat
tidak mungkin aku tampil. Verby sempat berkata, “Kalo lu ga bisa buat bangga,
setidaknya jangan bikin malu.” Grrr… Kata-kata tersebut membuatku semakin ragu
untuk tampil. Ditambah bentuk panggung dan bangku penonton yang membuatku
semakin tak yakin.
Di
tengah terpaan angin Diadema yang sangat dingin, satu penguatan dari Gege yang
kudapat.
“Girls,
menarilah untuk Tuhan. Andalkan Dia! Gua kasi kesempatan terakhir untuk kalian
memilih. Maju atau mundur. Kalau mau mundur silakan. Tapi kalaupun kalian semua
mundur, gua yang akan maju!”
Oh
noo!! Gegeee… Lebih baik kami yang tampil daripada dirimu.. Bahkan kainnya pun
tak cukup untuk badan lu.. hahahaha..
Satu
penguatan yang membuatku tertawa dalam hati.. :))
Jadilah
kami berenam berganti kostum secepat kilat lalu menghafalkan gerakan. Aku dan
Nory spanning! Otak serasa buntu. Harus tampil di hadapan orang-orang bule
menambah kepanikan.
But
show must go on!
Kalian
tahu apa yang terjadi, begitu kami muncul dengan kostum unik, mereka semua
bertepuk tangan. Begitu music dinyalakan, tepuk tangan makin bergemuruh.
Alhasil, kami penari tak bisa mendengarkan musik. Jadi kami menari diiringi
oleh tepuk tangan. Oh my God.. Tolong selamatkan aku.. Rasanya mau menghilang!
Kacau! Malu dan sudah pasti menyesal. Berharap waktu bisa kuulang, untuk
latihan lebih sering.
Ditambah
lagi Papa Valdir dan Ariana menyaksikan. Haduuhh.. Bagaimana aku harus
menghadapi mereka nanti di rumah.. :(
Do you
believe in miracle? You must to..
Tiba
di rumah, dengan Google Tradutor Ariana menulis, ”Você dança muito bem” - “You dance very well”
Aku
hanya melongo..
Papa
Valdir lebih heboh lagi. Dia sangat bangga karena aku tampil di panggung. Dia
merekam tarian Yapong tersebut. Aduh.. Langsung tutup muka. Malu karena aku
tidak menampilkan yang terbaik.
Tapi,
Papa sangat bangga. Bahkan dia menceritakan ke banyak orang yang dia temui
bahwa aku penari.
Aku tidak
senang dengan hasil tarian yang kutampilkan. Tapi aku senang karena telah
memilih dengan tepat: maju untuk tampil di panggung. Aku senang telah membuat
keluargaku bangga. Apa yang Gege katakan benar bahwa apa pun yang kita lakukan,
lakukan untuk Tuhan. Dan semua orang akan melihat berkat dalam diri kita.
Hari
ini kututup dengan manis, bukan dengan kebanggaan atas diri sendiri. Tapi
dengan ucapan syukur atas keluarga yang penuh kehangatan ini, terlebih atas penyertaan
Tuhan.
They were there to see me dance.. :) |
20 Juli 2013, waktu
Brazil..
Kubuka pagi ini dengan Adorasi
plus plus di komunitas berbeda.. Adorasi yang luar biasa, yang menguras
airmata. Pagi ini kami lalui dengan berbagi ucapan syukur pada Tuhan. Bagaimana
kami tidak menangis kalau semua orangtua berkata bahwa mereka bersyukur atas
kehadiran anak-anak Indonesia di rumah mereka, bahwa mereka belajar banyak hal
dari kami. Sedangkan kami merasa mereka telah melakukan banyak hal untuk kami,
bahkan terlalu banyak. Kesempatan ini menyadarkanku bahwa cinta Tuhan tidak
terbatas warna kulit, bahasa, bangsa, derajat, atau apapun. Cinta Tuhan tak
terbatas.. Cinta Tuhan melebihi apapun.
Sore harinya, kami menuju pusat
kota untuk mengikuti misa bersama seKeuskupan Sao Paolo, dipimpin oleh Uskup
Sao Paulo. Kemeriahan World Youth Day semakin terasa. Banyak negara yang
kutemui. Rasanya sangat seru saat bisa berkenalan dengan anak muda dari negara
lain, bertukaran souvenir, atau berfoto bersama.
Kembali menuju Diadema dengan
diantar bis, aku sudah dalam keadaan lelah. Kami turun di halte dekat gereja.
Satu per satu teman-temanku dijemput Papa dan Mamanya. Tinggal aku dan Karina.
Mulai merasa seperti anak hilang. Aku tahu jalan menuju rumah, tapi rasanya
kaki sudah tak sanggup untuk melangkah jauh. Bolak balik di sekitar halte, tak
tahu arah, sambil bergumam, “Papa di mana, Papa? Mama…”
Rasanya ingin melompat saat
kulihat mobil Papa tiba. Papa dan Mama turun. Kupeluk erat mereka. Bukan hanya karena
mereka menjemputku. Tapi aku merasa telah menjadi bagian dari mereka, bagian
yang sangat lekat.
21 Juli 2013, waktu Brazil..
Tanggal
yang hampir kuabaikan..
Bangun
pagi, turun dari kamar, aku langsung membawa peralatan mandiku. Melewati
pantry, mereka bernyanyi, “Parabéns
pra você… Parabéns pra você…”
Seketika
aku langsung segar.
Kulihat
Papa, Mama, Ariana, Karina bertepuk tangan dan bernyanyi. Di meja makan sebuah
kue beserta lilin ‘27’. Di pintu lemari tertempel kertas berisi tulisan tangan
Ariana, “HAPPY BIRTHDAY”
Yes!
This is my birthday!
Kalau
ditanya rasanya, nano-nano.
26
kali kurayakan ulangtahunku bersama papi, mami dan adikku di Jakarta. Kali ini,
papi mamiku jauh. Jauh dari orang terkasih tentu saja membuatku sangat rindu,
apalagi ini hari istimewaku. Rasanya aku ingin memanggil mereka semua untuk ada
bersamaku di Diadema. Maka aku tak terlalu memikirkan tentang 21 Juli ini.
Dihadirkan
kejutan kecil dari keluarga baruku benar-benar membuatku terharu. Sedih karena
jauh dari Jakarta tapi aku bersyukur atas kesempatan manis untuk bisa meniup
lilin ulangtahunku di Diadema, bersama keluarga baruku. Kupeluk Papa, Mama,
Ariana.. Aku hanya bisa menulis di Tradutor,
“Muito obrigado.. Eu não posso comemorar
meu aniversário com a família na Indonésia. Mas vocês fizeram o meu aniversário
tão memorável. Eu sou muito grato por eu não posso estar aqui com vocês, minha
nova família..”
Lord,
how can’t I praise You?
I lose
my words to express what I feel..
Ulangtahun
yang istimewa, yang akan selalu kuingat..
Ulangtahun
yang begitu manis bersama teman-teman Diadema..
Sweet things called love.. |
You know what, this is also the day
to leave Sao Paulo.
Aku beserta rombongan Indonesia akan
menuju Rio de Janeiro untuk World Youth Day.
Di hari istimewaku, aku harus
melambaikan tangan pada keluargaku ini, pada Diadema, pada Sao Paulo yang telah
membuatku jatuh cinta.
Hati ini terasa tercabik
membayangkan aku akan meninggalkan Papa Valdir, Mama Marta, Ariana, Diego.
Andai ada satu malaikat yang
mengizinkanku mengajukan satu permintaan, akan kusebutkan permintaanku ini: biarkan
aku tinggal lebih lama di Diadema.
Jelang tengah malam, Papa, Ariana,
dan Diego mengantarku. Mataku telah merah karena menangis. Menghitung menit
jelang keberangkatanku menuju Rio. Rasanya semakin tak rela.
Verby sempat berkata padaku, “Bapak
lu nitipin lu sama gua loh.”
Papa Valdir sampai sebegitu
khawatirnya terhadap aku.
:(
I hate to leave, but I must leave..
Papa Valdir memeluk dan mengecup
keningku untuk terakhir kalinya. Dengan bahasa tubuhnya, dia berkata bahwa aku
akan selalu ada di hatinya. Aku semakin tak bisa berkata, hanya aliran airmata
yang semakin deras. Papa langsung mengajak Ariana dan Diego meninggalkan
gereja. Rasanya semakin sedih melihat itu. Papa tak sanggup melihat bis kami
berangkat.
Naik ke bis, kupilih tempat duduk
dekat jendela. Kupejamkan mataku.. Airmataku mengalir deras, sederas hujan yang
mengiringi perjalanan kami meninggalkan Sao Paulo.
Kalian boleh berkata aku berlebihan,
tapi aku tidak sedang bermain drama. Apa yang kurasakan memang seperti itu.
Sao Paulo serta sejuta
keindahannya..
Diadema serta sejuta manisnya..
Paroquia Santo Arnaldo Janssen serta
sejuta kehangatannya..
Rumah Papa Valdir serta Mama Marta
serta sejuta cintanya..
4 hari 3 malam di Diadema seperti
menyihir hidupku.
Aku seperti masuk ke dunia mimpi
yang hanya sekejap.
Aku merasakan cinta yang luar biasa
dari warga paroki.
Aku merasakan kehangatan dari Papa
Valdir, Mama Marta, Ariana, dan Diego.
Papa dan Mama sempat memberikan
sebuah surat untukku. Susah payah mereka menulis dan mengubahnya ke dalam
bahasa Inggris lalu mencetaknya.
Susunan kalimat yang otomatis
membuatku meneteskan airmata.
How can't I shed my tears? |
Terimakasih untuk kebersamaan kita..
Terimakasih untuk rumah yang hangat,
yang membuatku jatuh cinta..
Terimakasih untuk cinta yang luar
biasa yang membuatku belajar tentang arti cinta yang tulus..
Terimakasih untuk perhatian yang tak
akan kulupakan..
Kalian telah mengajarkanku banyak
hal, tentang hidup, cinta, keluarga, ketulusan..
4 hari 3 malam mungkin hanya sekejap
mata, tapi kalian akan tinggal di hatiku untuk selamanya..
Aku akan sangat merindukan kalian
semua..
Aku akan merindukan angin dingin
Diadema..
Aku akan merindukan rumah yang
nyaman itu..
Aku akan merindukan selimut hangat
yang membungkusku tiap malam..
Aku akan merindukan roti keras,
daging ham, susu putih panas, coklat bubuk..
Aku akan merindukan nikmatnya semua
masakan Mama Marta..
Aku akan merindukan laptop dan sang
tradutor yang menyatukan hati kita..
Aku akan merindukan pelukan erat
kalian..
Aku akan merindukan semuanya.. amat
sangat merindukannya..
Rasanya aku tak mampu membalas
kebaikan dan ketulusan kalian. Tapi aku berdoa biar Tuhan memberkati Papa
Valdir, Mama Marta, Ariana, dan Diego dengan berkatnya yang tak pernah putus.
Aku yakin keluarga kalian akan senantiasa dipenuhi oleh cinta yang tak
berkesudahan.
Muito obrigado, querido papai,
mamãe, Ariana, Diego..
Meu desejo: para conhecê-lo
novamente..
Vocês vão viver sempre em meu
coração..
Sekarang Brazil bukan hanya tentang
sepakbola, tapi tentang cinta, kehangatan, pelukan..
Terlebih tentang rindu di hatiku..Eu amo vocês.. tanto.. |
Comments
Post a Comment