Serunya Makassar, Indahnya Toraja (3): Toraja Marathon, Bori Kalimbuang


Hari Sabtu di Toraja menjadi begitu panjang karena kami memulainya begitu awal, bahkan menutupnya hingga sangat larut.

29 Juli 2017, setengah empat pagi kami kami telah benar-benar bangun bersiap untuk marathon. Jam 4 pagi mobil melaju dari Rantepao ke Makale. Cukup jauh, sekitar 30 menit. Tiba di tempat acara, suasana masih sangat sepi. Kepagian!! Hahaha..
Akhirnya kami pun jalan-jalan memutari Bundaran Kolam Makale yang cukup luas. Terlihat banyak warga yang berolahraga pagi, jalan maupun lari melintasi pinggir kolam.

Bundaran Kolam Makale di pagi buta, terlihat Patung Yesus Buntu Burake di atas sana,
juga Gereja Hati Tak Bernonda Santa Perawan Maria Tak Bernoda

Bundaran Kolam Makale ini terlihat sepi karena sebagian peserta, yakni Full dan Half Marathon telah memulai larinya sejak jam 5 pagi dan dari Rantepao. Jadi yang memulai lari di Makale hanya 10K dan 5K.

Sekitar pukul 6 pagi, pelari 10K memulai racenya. Selang 15 menit, aku dan beberapa orang dari rombongan 5K menyusul. Kedua nomor lari ini memiliki lintasan yang berbeda, tapi ada yang sama, yaitu tanjakan! Rute Toraja Marathon ini sesuatu banget dehhh.. Melewati rumah penduduk dengan udara segar dan sejuk tapi tanjakannya kurang ajar.. hahahaha..


Salah satu turunan yang tentu saja diawali oleh tanjakan.. hahaha..

Bundaran Kolam Makale dari atas, tempat check point

45 menit setelah dilepas start, aku masuk garis finish. Jangan tanya kenapa segitu lama.. Aku kan anak bawang.. Ini pertama kali plus di jalan pake foto-foto.. hahaha..
Yang penting finishnya sebelum Larry, Stephen, Eric. Yaeyaaalaahhh.. Mereka kan 10K.. hahahaha..
Yang penting dapet medali.. yeayyyy!!

Bangga! Pecah telor marathon di Toraja..

Lebih membanggakan lagi Stephen yang masuk garis finish dikawal oleh motor, yang sebenarnya mengawal nomor 1 Full Marathon.. hahahaha..
Bocah satu ini bener-bener menikmati alam Toraja, bukan lari..
Gpp, lagi-lagi yang penting dapet medali! Tanda sah udah marathon di Toraja.. hahahaha..

Para pelari yang sempat malas bangun subuh karena sudah terbuai oleh keindahan Toraja.. haha..

Perdana!!

Setelah haha hihi foto foto sama medali, butuh toilet. Mampirlah ke toilet gereja yang kemarin sudah kami sambangi. Sempet ngobrol-ngobrol sama ibu-ibu WK dan umat yang kebetulan sedang duduk-duduk di Tongkonan di halaman gereja. Kami yang sangat asing buat mereka dianggap teman. Mereka memberitahu tempat-tempat yang harus kami kunjungi selama di Toraja. Mereka menyenangkan..

Si bapak sopir pun menjemput kami dan langsung membawa kami kembali ke hotel demi mengejar waktu sarapan.. hahaha.. Beruntung kami tiba di hotel sebelum jam 10 jadi masih bisa makan.

Ga pernah minum kopi hitap tapi yang ini beda..
Kopi Toraja dan pisang goreng gula merah.. Nikmatttt!!

Selesai makan, saat berjalan kembali ke kamar, bertemu adik-adik ini dengan pakaian adat Toraja. Mereka sedang ada acara di hotel. Ga pake malu, minta mereka untuk berfoto bersama.. Padahal muka kucel keringetan.. hahaha..


Masuk ke kamar, langsung tidur tanpa mandi. Mandinya nanti pas mau check out karena perjalanan minim mandi akan berlanjut. Kami akan ke tempat yang susah untuk mandi hahahaha..

Sebelum meninggalkan Hotel Misiliana

Sekitar jam dua kami meninggalkan hotel Misiliana, dijemput oleh sopir dan mobil lain yang akan mengantar kami ke tempat tinggi nan indah.
Dari hotel, kami makan siang Bakso Babi. Selama di Toraja aku memang beberapa kali melihat rumah makan yang menyajikan bakso babi. Penasaran dan seperti ini bentuknya..

Bakso Babi

Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke Bori Kalimbuang. Tak terlalu jauh dari Rantepao, hanya sekitar 30 menit berkendara.

Perjalanan menuju Bori Kalimbuang sangat kunikmati. Bagaimana tidak, hektaran sawah menghijau menjadi suguhan bagi mata kami hampir di sepanjang jalan menuju Bori. Begitu luas, begitu hijau, dan begitu menyegarkan.
Aku yang anak kota menjadi sangat norak melihat yang hijau seperti itu. Di kotaku tak ada yang seperti itu dan aku begitu merindukannya.






Tiba di Bori, setiap orang diharuskan membayar sebesar 10.000.
Memasuki Bori, beberapa Tongkongan besar menyambut. Kemudian batu-batu besar berdiri seolah tumbuh dari dalam tanah. Kumpulan menhir ini yang menghiasi komplek pemakaman ini. Ada beberapa bangunan yang berkaitan dengan upacara pemakaman.




Menhir

Liang pa', kompleks kuburan batu dengan pahatan khusus,
dengan satu lubang yang dikhususkan untuk satu keluarga besar


Jelang sore, kami meninggalkan Bori Kalimbuang untuk kembali ke Rantepao. Sore ini, kami akan mengikuti misa. Dari hasil browsing, di Rantepao ada gereja Katolik. Namun karena waktu yang masih cukup panjang, kami pun berhenti di pasar Rantepao untuk membeli oleh-oleh khas Toraja dan juga membeli Kopi Toraja. Deretan toko menjual kopi Toraja membuat satu jalanan tersebut harum aroma kopi.
Jam 6 sore kami telah duduk di dalam gereja Santa Theresia, Rantepao. Gereja yang begitu kental dengan nuansa Toraja dengan atap tongkonan di altar. Kami benar-benar terberkati melalui bahasa Toraja yang digunakan dalam misa tersebut.
Bengong? Pastinya donk! Bahasanya sangat jauh dari bahasa Indonesia. Walaupun memegang teks misanya, aku bahkan tak bisa ikut membaca karena terlalu sulit.
Tapi aku tetap dapat mengikuti misa dengan khusyuk. Dan pengalamanku bertambah satu, mengikuti misa dalam bahasa Toraja. Jarang dan aku orang yang beruntung.. hehehe..




Setelah misa, seperti biasa, lapar.. hahaha..
Dan ternyata rumah makan Pong Buri begitu dekat dengan gereja. Untuk kedua kalinya kami makan Pong Buri.. hahahaha..

Malam minggu ini masih terlalu panjang dan aku tak ingin ini segera berakhir.
Perjalanan yang sesungguhnya hari ini baru dimulai.

Mobil Kijang kotak yang berusia lebih dari 20 tahun, yang tadi siang menjemput kami melaju naik ke atas bukit. Tinggi dan curam. Kulihat dari balik jendela mobil, temaram kota Toraja. Gelapnya jalanan yang kami lalui menjadikan kelip kota begitu indah. Angin malam menjadi teman kami malam ini menuju puncak tertinggi.

Setelah sekitar 1 jam berjuang menanjak melewati jalan setapak dan sedikit rusak, kami tiba di Puncak Tertinggi Lolai.



Turun dari mobil, angin malam nan dingin langsung menyentuh tubuhku. Dingin sekali..

Malam kedua di Toraja tak kami lalui di kamar hotel, melainkan di tenda kemping. Walaupun kemping-kempingan karena tenda nya berada di dalam gazebo, tapi entah kenapa aku begitu senang. Ini perjalanan yang aku inginkan. Begitu dekat dengan alam.

Selesai meletakkan barang di tenda, kami naik sedikit untuk menikmati langit malam itu. Lagi-lagi sesuatu yang tak pernah bisa kudapati di kotaku.
Bentangan luas langit hitam berhias titik-titik yang menyala, kadang berkelip. Indah. Terlalu indah.
Sebuah bale-bale membuatku bisa telentang dan membiarkan mataku mendapat suguhan kenikmatan langit malam itu. Angin dingin khas pegunungan menyempurnakannya.


Dan lensa mataku menangkap yang lebih indah dari ini..

Malam itu rasanya ingin terus berjaga menikmati semesta. Namun angin di puncak membuatku harus masuk ke dalam tenda. Bukan hanya karena dingin, tapi apa yang akan kami nikmati esok paginya membuat kami bergegas tidur.

Comments

Popular Posts