Serunya Makassar, Indahnya Toraja (2): Kete Kesu, Buntu Londa, Buntu Burake


Tak pernah kusangka bisa menginjakkan kaki di Tana Toraja bahkan menjadi begitu menyukainya. Toraja menyimpan begitu banyak kekayaan budaya dan juga keindahan alamnya.

28 Juli 2017, sekitar pukul 5 pagi aku terbangun di dalam bus setelah tidur yang cukup nyenyak selama beberapa jam perjalanan. Suara penumpang yang turun di sebuah perhentian membangunkanku. Mengalihkan pandangan ke luar jendela, aku tak ada ide tentang keberadaanku saat itu. Aku hanya tahu harus turun di depan Hotel Misiliana, tapi aku tak tahu di mana letak hotel tersebut. Karena masih terlalu pagi, aku pun melanjutkan tidur sambil bus terus melaju. Sekitar setengah jam kemudian, kenek bus berteriak, “Misiliana bersiap!”
Kami berempat tentu saja dengan muka bantal dan muka belum mandi selama tepat 24 jam segera mengumpulkan nyawa, merapikan barang-barang dan bersiap turun.

Saat menapakkan kaki keluar dari bus, udara pagi nan sejuk langsung menyambut kami. Begitu menyegarkan. Walau rasa kantuk masih menggantung, aku tersenyum begitu senang. Akhirnya…
Toraja!!

Karena memang telah booking Hotel Misiliana, kami pun langsung masuk ke dalam hotel dan mengurus early check-in.
Sebenarnya bisa saja kami hanya menitipkan koper lalu langsung berkeliling Toraja. Tapi mengingkat telah lebih dari 24 jam kami tidak mandi, jadi kami early check-in untuk satu kamar.. hahaha..

Hotel Misiliana di Rantepao adalah hotel berbintang empat yang sepertinya sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Terlihat dari bentuk kamarnya yang super jadul, dengan TV tabung, lemari kayu, ditambah toiletnya yang masih menggunakan bathup yang sudah tua. Suasana kamar yang remang-remang pun menjadi sedikit mencekam.
Tapi sepertinya hotel ini adalah cukup terkenal di kalangan para turis, terlihat dari beberapa bule yang kami temui di lobi hotel.

Masuk ke area lobi hotel, langsung terasa kuat suasana khas Toraja. Kamar hotel yang berbentuk rumah adat Toraja menyambutku pagi itu. Indah!



Setelah masuk ke kamar hotel, kami berempat kebingungan. Mau ngapain nih, udah sampe Toraja trus mau ngapain.. hahahaha..
Mau jalan-jalan bingung cari kendaraannya di mana dan gimana. Sambil menunggu satu per satu dari kami (kecuali Eric hahaha..) mandi, akhirnya diputuskan untuk mencari mobil sewaan yang bisa mengantar kami berkeliling menikmati Toraja. Nyari mobilnya juga bingung gimana.
Dengan bantuan resepsionis hotel dan dengan tawar menawar, kami pun menyewa mobil Avanza sopirnya untuk 12 jam dengan harga 500.000. Sebenarnya sopir dan mobil yang kami sewa bukanlah dari perusahaan rental. Tapi sehari-hari mobil tersebut memang dijadikan taksi. Di Toraja, yang disebut taksi adalah mobil pribadi yang mengangkut penumpang seperti angkot.

Sekitar pukul 9 pagi, mobil yang kami sewa tiba di lobi hotel. Kami pun beranjak meninggalkan hotel dan meminta pada bapak sopir untuk mengantar kami sarapan pagi.

Pong Buri
Aku rasa ini adalah tempat makan wajib di Toraja. Hampir semua orang yang kutemui merekomendasikan tempat makan ini. Tempatnya kecil, lebih cocok disebut warung atau warteg, hanya saja semua menunya khas Toraja. Rawon babi, ikan sambal, rawon ikan mas, daging kerbau. Orang Toraja yang makan di situ biasanya memilih salah satu lauk lalu menyantapnya dengan nasi putih, menggunakan tangan.



Setelah sarapan, kami pun menuju Kete Kesu.
Kete Kesu apa sih?
Bila melihat foto-foto traveler di Toraja, hampir semua diambil di tempat ini. Rumah khas Toraja, Tongkonan, di Kete Kesu ini sangatlah ikonik. Belum resmi ke Toraja bila belum ke Kete Kesu.

Kete Kesu adalah sebuah desa yang sekarang menjadi tempat wisat. Terletak 4 kilometer dari Rantepao, Kete Kesu terdiri dari padang rumput hijau, rumah keluarga, lumbung padi, dan juga kuburan keluarga.
Aku, Larry, dan Stephen sempat masuk ke salah satu Tongkonan yang memang dijadikan museum. Aku pun bisa membayangkan rasanya tinggal di dalam Tongkonan.

Padang hijau yang menyambut kami saat tiba di Kete Kesu

Menjajal Tongkonan yang lengkap dengan perabotan rumah tangga

Tongkonan

Lumbung padi





Selain menikmati desa Toraja dan berbagai atributnya, aku menyempatkan diri menikmati Kopi Toraja. Kopi di pagi itu terasa lebih nikmat dari kopi yang pernah aku minum. Entah karena memang Kopi Toraja nikmat atau karena aku menikmatinya langsung di Tana Toraja dengan hamparan padi hijau dan udara yang bersih nan sejuk.

Kopi di Kete Kesu

Duduk di lumbung padi ini dengan secangkir kopi
dan pemandangan yang seperti ini.. Priceless!

Selesai di Kete Kesu, perjalanan berlanjut ke Buntu Londa, satu lagi tempat yang wajib dikunjungi di Toraja.
Sebuah kawasan kuburan batu, tempat menyimpan mayat leluhur Toraja dan keturunannya.

Masuk ke kawasan ini, pengunjung harus membayar 10.000 per orang. Kemudian kami ditawari jasa pemandu lengkap dengan lampu tempel yang akan memandu kami masuk ke dalam gua batu yang gelap. Mereka tidak mematok harga jasa pemandu dan lampu tempelnya, sukarela.

Dari tempat parkir, kami naik tangga dan disambut gapura megah khas Toraja dengan kepala kerbau bertanduk. Kami harus berjalan beberapa ratus meter untuk tiba di kawasan kuburan batu. Di tebing batu, terlihat banyak peti mati, ada yang sudah mulai lapuk, namun ada juga yang masih baru. Kami pun masuk ke dalam gua batu yang gelap. Banyak tengkorak dan tulang belulang di dalam gua tersebut. Juga banyak peti mati yang diletakkan di bebatuan dalam gua tersebut. Beberapa kisah diceritakan oleh pemandu kami. Semua mayat yang diletakkan di sana adalah mereka yang memiliki garis keturunan yang sama. Jadi Buntu Londa memang diperuntukkan untuk keluarga.



 

Tengkorak dari sepasang kekasih, yang masih memiliki hubungan darah,
yang memilih bunuh diri karena tidak direstui keluarganya




Toraja penuh dengan budaya. Indonesia begitu kaya!


Dari Buntu Londa, indahnya Toraja semakin menyihirku.
Dari Rantepao, perjalanan berlanjut turun ke Makale. Cukup jauh dan harus naik ke atas bukit untuk Buntu Burake
Kali ini bukan lagi pemakaman. Sebuah tempat wisata religi.

Pernah tahu Christ Redeemer di Rio de Janeiro, Brazil?
Indonesia pun punya, bahkan lebih tinggi dan menjadi yang tertinggi di dunia.
Toraja punya patung Yesus memberkati yang berdiri gagah di atas bukit. Dari bawah patung Yesus ini, mataku dimanjakan oleh indahnya pemandangan Toraja. Breathtaking!
Proyek patung ini belum sepenuhnya rampung, namun keindahannya sudah bisa dinikmati.






Buntu Burake tak hanya patung Yesus ini. Ada pula Gua Maria yang letaknya juga di atas bukit. Jadi mata ini bisa puas memandang hamparan pepohonan dan juga kota. Angin sejuk membuat kami betah berada di atas sana, tanpa sadar matahari menyengat membakar kulit.
Tapi aku sendiri rela menghitam. Kalau di Jakarta, panas terik sedikit langsung ambil payung, di sana aku tak butuh lagi payung. Bagaimana mungkin aku ribut soal panas dan payung bila yang terhampar di hadapanku seperti ini..











Begitu menikmatinya kami di Buntu Burake sampai waktu Makan siang telah terlewat jauh. Lapar pun sampai tak terasa.. hahaha..
Kami menyempatkan diri mampir di warung kecil di kawasan itu. Pisang goreng dengan sambal dan es kelapa dengan gula merah menyempurnakan keberadaan kami di Buntu Burake.



Sambil menikmati camilan sederhana itu, kami berdiskusi lagi-lagi soal kebingungan kami. Pulang dari Toraja ke Makassar mau naik apa dan hari apa??
Hahahaha...
Pilihannya naik pesawat yang terbangnya tergantung cuaca, yang membuat kami berpikir dua kali. Kalau sampai cuaca buruk, kan ga lucu kalo kami terdampar di Toraja.. hahaha..
Pembicaraan di warung itu nyatanya tak menghasilkan putusan akhir. Udah jalanin aja, liat besok.. hahahaha..

Meninggalkan Buntu Burake dan keindahannya, kami menuruni bukit, naik mobil tentu saja. Mobil saja harus berjuang keras ke Buntu Burake. Kalau jalan kaki, pengsan.. hahaha..
Selama turun pun, indahnya masih terus terlihat..

Masih di daerah Makale, kami melihat sebuah gereja Katolik. Berhenti sebentar di gereja yang letaknya tepat di depan salah satu sisi Bundaran Kolam Makale.
Gereja Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria.




Karena hari sudah menjelang sore, masih diantar oleh bapak sopir dan mobil sewaan, kami berhenti di sebuah rumah makan. Rumah Makan Pondok Bambu. Carbo loading, gaya banget yang besok mau marathon (marathon-an) hahahaha.. Larinya cukup beberapa kilometer tapi carbo loadingnya harus maksimal.. hahaha..



Untuk makan berlima (termasuk sopir), mahal yaaaa..

Sambil makan, pembicaraan soal cara kembali ke Makassar berlanjut. Akhirnya diputuskan naik bus malam lagi. Kebingungan lainnya adalah perusahaan bus mana yang hendak kami pakai.. hahaha..
Setelah kenyang, kami menuju ke pool bus Putra Jaya dan membeli 4 tiket sleeper bus. Mungkin istilah yang tepat untuk pilihan seat bus kami ini adalah YOLO. Coba-coba dan menghasilkan cerita seru.. Di bagian akhir akan ada tentang bus YOLO ini.. hahaha..

Malam belum menjelang sebenarnya, tapi karena esok subuh sudah harus bangun dan lari, jadi kami kembali ke hotel dan bergegas beristirahat.

Untuk esok subuh, kami menyewa bapak sopir dan mobilnya lagi untuk mengantar kami dari hotel ke race venue.

Besok, Sabtu menjadi hari yang panjang dan indah.. :)

Comments

Popular Posts