Rasa, Asa, dan Nyata

Hari ini menjadi bersejarah karena aku menuliskan ini. Tulisan yang juga menjadi sejarah di sepanjang hidupku. Bisa diperiksa di seluruh tulisan yang pernah aku buat, tak pernah ada topik seperti ini sebelumnya. Sejarah bagiku..

19 April 2017
Juga sejarah bagi semua warga Indonesia, khususnya Jakarta.
Air mata pertamaku untuk seorang pejabat publik di Indonesia.
Mereka bilang, ‘Jakarta menangis’.
Nyatanya hari ini memang langit Jakarta di siang menuju sore tampak gelap, padahal pagi hingga siang cerah. Dan di malam hari hujan pun menyusul.

18 April 2017
H-1 putaran kedua Pilgub DKI. Di pikiranku, ‘Cepatlah besok, biar cepat selesai kehebohan ini.’ Berbulan-bulan timeline media sosialku penuh dengan artikel yang tak jauh dari isu ras, agama, dan lain sebagainya. Dari yang menarik untuk dibaca hingga hoax. Rasanya ingin segera selesai dan aku pikir siapapun itu cepatlah selesai. Cepatlah berakhir kegaduhan ini.

19 April 2017
Pukul 09.30, di TPS 80, Jakarta Timur, aku melaksanakan hak sekaligus tanggung jawabku sebagai warga Ibukota. Memilih yang menurutku baik dan punya hati untuk bekerja bahkan melayani dengan tulus.
Jelang pukul 11.00, aku sudah berada di TPS 50, Jakarta Barat. Butuh waktu sangat singkat bagi Larry, suamiku, untuk mencelupkan kelingkingnya ke tinta biru. KTP kami memang masih berbeda alamat. Aku di ujung Jakarta Timur dan Larry di ujung Jakarta Barat. Menyeberangi Ibukota sudah biasa kami lakukan, apalagi demi Pilgub kali ini, sama sekali tidak masalah.

Di hari H pemilihan suara ini, aku berkata pada diriku, ‘Yang bisa kulakukan hari ini ya hanyalah menjalankan apa yang menjadi tugasku. Datang ke TPS, memilih yang aku yakini baik dan benar dan membawa kebaikan bagi kota kelahiranku ini. Selebihnya, pasrah.’

Sekitar pukul 14.00, aku mulai buka tutup handphoneku. Litbang Kompas yang aku pandangi. Saat buka pertama kali, hasilnya adalah 30an persen lawan 60an persen. Entah kenapa aku langsung lemas.  Sempat aku menonton live broadcast di Kompas.com dan saat itu ditampilkan Hitung Langsung, di mana ada satu TPS di Jakarta Utara, yang sedang berjalan penghitungan suaranya menunjukan 250 lebih lawan 0. Tapi nyatanya itu tidak memberikan perubahan pada hasil penghitungan total yang sedang berjalan.
Aku bukannya pesimis, tapi realistis. Beberapa kali melihat quick count pemilihan di negeri ini dan juga melihat pengalaman Litbang Kompas, biasanya hasil penghitungan di awal tidak akan mungkin banyak berubah hingga akhir.
Aku realistis tapi aku mengharapkan keajaiban. Bolak balik aku refresh Litbang Kompas, berharap ada perubahan signifikan.
Nyatanya… adalah akhir yang kita tahu bersama.

Selama penghitungan cepat, aku berusaha tidak peduli. Pikirku, siapapun itu, tak ada yang bisa aku lakukan.

Kucoba redam rasa kecewaku. Lagi-lagi aku berpikir, aku bisa apa? Aku hanya satu dari banyak warga Jakarta yang berusaha menjadi warga yang baik dengan memberikan suaraku, dan itu sudah kulakukan. Nyatanya apa yang menurutku baik, tidak menurut yang lainnya.

Sore itu, di perjalanan pulang ke rumah, air mataku mengalir.
Aneh?
Aku sendiri merasa aneh. Kok bisa ya aku menangisi pejabat publik. Sejak kapan aku peduli?
Aku bahkan tidak mengerti politik, juga tidak pernah mau peduli. Dan memang apa yang aku tuliskan ini bukanlah tentang politik. Hanya tentang air mata bagi sosok yang terbaik.
Jakarta memang tempat kelahiranku. Tapi yang aku ingat, aku tak pernah sekalipun peduli pada pemilihan umum karena sejak memiliki hak suara, siapapun yang aku pilih ataupun siapa yang memenangkan pemilihan, tak pernah membawa perubahan. Tak pernah aku rasakan perubahannya.
Tapi kali ini berbeda. Bahkan saat aku rampungkan tulisan ini, di 2 hari setelah hasil penghitungan, mataku masih berusaha keras menahan linangan air mata.
Untuk pertama kalinya selama hidupku di Indonesia, aku menangisi pejabat publik dan ternyata aku tidak sendiri.

Ibukota bersedih.
Ibukota kehilangan yang terbaik.
Ibukota melepaskan emas.
Anganku telah terlalu tinggi membayangkan Jakarta akan begitu pesat maju menyaingi negara maju lainnya. Pikirku tak mampu memahami apa yang sedang terjadi, bahkan setelah berulang kali kucoba.

Air mata ini mengalir mengingat hanya sebentar waktu yang dimiliki dia, sosok yang terbaik, untuk berpeluh susah menata kota ini.
Terlalu singkat…

Malam itu aku masih berharap adanya keajaiban. Harapan seorang warga biasa yang tak punya daya.
Melihat media sosial penuh dengan artikel tentangnya, tangis ini pun kembali.

Berusaha menerima kenyataan bahwa kota ini belum saatnya menjadi semakin baik. Harus aku menerima kenyataan bahwa segala sesuatu ada masanya, bahwa apa yang aku pikirkan terlalu sempit dari rencana besar Tuhan.


Teruntuk Bapak Ahok,
Saya pernah sekali melihat Bapak secara langsung saat live di Mata Najwa. Beberapa kali break time membuat penonton di studio, termasuk saya melihat Bapak bila di balik kamera. Humoris, santai, tulus, juga apa adanya. Jauh berbeda dari kesan saya selama ini terhadap pejabat publik di negeri ini. Bahkan saat acara selesai, saya rela berdesak-desakan dengan penonton lain demi berfoto bersama Bapak. Sama artis aja saya ga pernah seperti itu loh, Pak.
Tanpa perlu melihat apa yang sudah Bapak lakukan, satu kata, Bapak adorable!

Saya bukanlah Ahokers garis keras, Pak. Bukan juga seorang fanatik, yang hanya mengandalkan cinta sampai melupakan akal budi. Saya hanya satu orang dari sekian banyak orang di Jakarta, yang berpikir realistis, yang menjadi pendukung Bapak karena hasil kerja yang nyata terlihat. Saya pun hanya mengikuti aturan yang ada, mulai dari mengumpulkan KTP, lalu mengulangnya lagi saat terjadi pengumpulan ulang KTP. Sesekali membagikan video di media sosial bila memang menurut saya baik dan benar. 

Tapi toh tetap air mata ini mengalir membayangkan Bapak dengan wajah tulusnya.
Segala perjuangan dan pengorbanan yang selalu jauh lebih sulit dari sekedar bicara, nyatanya berhasil diwujudkan.

Jakarta mungkin terlalu biasa untuk seorang Ahok yang luar biasa.
Hati kecil ini masih berharap agar Bapak tetap di sini. Naif? Bisa dibilang demikian.
Tapi apakah saya salah bila berharap sesuatu yang baik?

Ah.. menjerit sekalipun tak akan mengubah apapun.

Yang bisa saya katakan sekarang hanyalah
TERIMAKASIH
Beribu terimakasih, Pak..
Bapak yang membuat saya percaya bahwa perubahan itu bukan hal mustahil.
Bapak yang membuat saya semakin yakin bahwa orang baik dan benar selalu memperoleh jalan lurusnya.
Bapak yang membuat saya percaya bahwa kerja keras dan ketulusan selalu berbuah manis.
Hati ini semakin sedih melihat begitu banyak orang yang menangisi keadaan.
Bapak tahu, bahkan suami saya pernah berkata, “Ahok sih hebat banget!! Mungkin kalau aku bisa ketemu, aku bakal peluk Ahok.”
Melihat banyak foto di balaikota hari ini, saya sedikit bisa mengerti mengapa sampai begitu banyak orang yang memeluk Bapak, bahkan sambil menangis.

Terimakasih, Pak..
Untuk apapun yang Bapak lakukan untuk Ibukota.
Setidaknya saya menjadi percaya bahwa ada pejabat publik di Indonesia yang baik dan benar.
Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di detik setelah ini. Tapi saya percaya bahwa selalu ada harapan bagi orang baik.

Melihat begitu banyak orang yang menangis bahkan membuat saya semakin kagum pada Bapak. Sebegitunya ya Bapak dicintai warganya. Padahal saya tahu, begitu sulit menjadi sosok yang dikagumi bahkan dicintai oleh ribuan orang. Nyatanya, Bapak berhasil.

Teruslah berkarya, Pak..
Biar sejarah baru terus terukir,
Biar nanti ada kisah hebat yang bisa saya ceritakan pada anak cucu saya..
Saya, anak Jakarta merasa sangat bangga pernah memiliki gubernur seperti Bapak.
Rasa kagum dan hormat saya selalu untuk Bapak.
Di manapun Bapak berada, teruslah menjadi yang luar biasa ya, Pak..

Karena meskipun langit berawan gelap pekat,
cahaya purnama selalu jelas terlihat sempurna.

Comments

Popular Posts