I Left My Heart in Polska (Part Three)

Kadang rasa rindu untuk menulis itu muncul tiba-tiba. Antara memang muncul kerinduan atau rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan yang sudah dimulai. Tulisan tentang Polandia baru kurampungkan 2 bagian, bahkan belum setengahnya. Bisa jadi bukan rasa rindu yang muncul, tapi rasa tanggungjawab.. hehehe..
Setelah beberapa bulan, niat baru muncul setelah tenggelam dalam kemalasan.. hahaha..

22 Juli 2016
Seperti pagi sebelumnya, aku disambut dengan sarapan khas Polandia. Tapi kali ini sedikit berbeda. Tak ada ham ataupun sosis. Lebih tepatnya, tak ada daging sama sekali di meja makan. Ternyata setiap hari Jumat adalah hari pantang daging bagi umat Katolik di Polandia. Roti tawar gandum, keju lapis, telur rebus, tomat, juga mentimun telah tersaji di meja makan. Lebih dari cukup untuk membuat sandwich yang akan menjadi tenaga bagiku untuk menjalani hari ini, yang aku yakin akan sangat panjang.

Sarapan tanpa daging pagi ini

Sesuai jadwal yang telah dirancang, kami berkumpul di gereja. Jalan yang kulalui masih sama seperti hari sebelumnya dan tetap kudapati sungai dengan pemandangan yang menarik bagiku. Hari ini apa yang aku lihat lebih indah dan cerah.

Sungai yang menyapaku tiap pagi

Setelah semua berkumpul, kami lalu dibagi kembali ke dalam kelompok untuk bersama-sama mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan ikon kota Warsaw. Kami terlebih dahulu menukarkan mata uang Euro yang kami bawa dengan mata uang Polandia, yakni Zloty. Untuk pertama kalinya kami memegang mata uang yang tidak dapat kami temui di money changer di Indonesia tersebut.
Dengan menggunakan bus kota dan tentu saja dengan berjalan kaki, kami tiba di POLIN Museum of The History of Polish Jews. Setelah 2 jam mengelilingi museum tersebut, kami kemudian menuju Warsaw Old Town. Ikon kota Warsaw yang indah, yang membuatku bersyukur mengunjungi tempat-tempat tersebut. Mulai dari jajan es krim hingga mengunjungi St. Ann’s Church, juga beberapa tempat bersejarah di Old Town.



Salah satu bagian dari POLIN Museum of The History of Polish Jews


Sore menjelang saat kami selesai berkeliling Warsaw Old Town. Kami kembali ke gereja Isidore untuk makan malam bersama, tak hanya dengan semua pilgrim Indonesia, tapi juga dengan semua teman-teman di Marki.

Makan malam kami yang disiapkan oleh teman-teman Isidore

Kopytka, terlihat seperti pempek, tapi terbuat dari kentang


Malam itu, setelah makan, kami bersukaria bersama dengan menari bersama. Poco-poco hingga Polonez berhasil membuat kami semua menikmati malam tersebut. Verby, Larry, dan Alvin Marly memasakkan mie instan goreng bagi host parents dan juga teman-teman Marki. Laris manis. Itu yang tepat menggambarkan bagaimana mereka menyukai mie instan goreng tersebut. Malam yang dingin tersebut menjadi begitu hangat dengan gerak tari, canda tawa, dan juga kebersamaan kami. Kalau sekarang aku ceritakan kembali suasana malam itu, ada rasa rindu yang tiba-tiba menyergapku. Kali ini rasa rindu yang benar-benar kurasakan dan membuatku ingin kembali ke malam itu. Keterbatasan bahasa dan segala perbedaan yang ada tak menjadi penghalang bagi kami untuk menikmati kebersamaan. Tawa akan tetap menjadi tawa. Sukacita akan tetap sama di manapun kita berada meskipun banyak perbedaan.
Malam itu kami tutup dengan penuh sukacita, aku bersama kedua host parentsku berjalan kaki menembus dinginnya angin malam menuju flat mereka. Di hati ini, ada syukur yang tak henti terucap.
Setiba di flat, aku diajak oleh host parents Valerie, yang memang satu lantai di flat, untuk berkeliling kota Warsaw. Tengah malam, saat semua telah terlelap, kami menikmati indahnya malam di Warsaw. Gelap, kosong, dan aku menikmati kota ini.
Jelang pukul 01.00, aku tiba kembali di flat. Istirahatku malam ini mungkin tak terlalu panjang dan mungkin tak mampu mengobati rasa lelahku. Tapi aku tak sabar untuk memulai hari yang baru, yang aku yakini penuh dengan cerita baru.

Warsaw at Night



23 Juli 2016
Aku pernah mendengar ungkapan, hari ini harus lebih baik dari kemarin. Atau bagiku, hari ini aku harus membuat cerita baru yang lebih seru dari kemarin. Dan saat di Warsaw, ungkapan itu nyata terbukti. Yang aku alami hari ini begitu seru dan membuatku tak henti bersyukur. Yakinku, esok pasti datang dengan ratusan peristiwa seru dan luar biasa.

Pagi hari, sarapan yang disediakan papaku membuatku ingin membuatnya setibanya di Jakarta dan berhasil. Omelete dengan keju mozzarella, lengkap dengan paprika dan sosis di dalamnya. Dinikmati dengan mayonais dan saus tomat, yang menurut mereka super pedas, tapi bagiku hanya terasa manis.. hahaha..



Sungaiku pagi ini

Hari ini adalah hari di mana kami akan berkumpul untuk sebuah acara, Central Event for Diocese of Warsaw-Prague. Beberapa pilgrim dari negara-negara, yang mengikuti Days in Diocese di Warsaw, berkumpul untuk saling bertukar kebudayaan. Dengan menggunakan bus kota, kami menuju tempat acara tersebut. Sekitar pukul 12.00 kami tiba di sebuah lapangan luas dengan panggung besar. Panas menyengat dan kami memilih spot terdekat dengan panggung. Acara dimulai sekitar pukul 13.00 dengan perarakan bendera negara-negara. Kemudian dilanjutkan dengan penampilan kebudayaan dari berbagai negara, seperti Korea, Cina, Ghana, dll.

Sekitar pukul 19.00, misa konselebrasi dimulai dan penampilan Pilgrim Indonesia dijadwalkan pada pukul 20.30. Aku sendiri selama misa mulai merasa panik. Aku menjadi salah satu penari yang akan menampilkan kebudayaan Indonesia. Panggung raksasa itu akan menjadi saksi apakah aku mampu membanggakan Indonesia atau malah sebaliknya. Dalam misa, kudoakan persiapan tarian kami agar semuanya berjalan lancar. Ya, minimal ga bikin malu.

Selesai misa, aku dan teman-teman penari lainnya langsung bersiap. Pilgrim dari Indonesia sendiri menyiapkan 2 tarian. Satu tarian dari teman-teman Sintang, satu lagi Tari Yamko Rambe Yamko.

Saat bersiap mengenakan kostum dan berdandan, pikiranku penuh dengan perasaan takut gagal, takut salah menarikan tarian tersebut, dan juga ingatanku yang lari mundur ke beberapa bulan sebelumnya. Ada rasa tak percaya bahwa akhirnya saat ini tiba. Saat di mana, aku benar-benar harus tampil dengan kostum khas Papua. Tak ada lagi kata mundur atau tunda. It’s now and it’s a must! Rasanya? Jangan ditanya. Kalau ada pilihan untuk mundur, aku akan mundur. Rasa takut akan membuat malu Indonesia, sangat besar kurasakan.
Selama kurang lebih persiapan 2 bulan sebelum keberangkatan, kami hanya berlatih sekitar 4 atau 5 kali dan dari semua latihan tersebut kami belum pernah berlatih dengan jumlah penari yang lengkap. Hari ini, di saat tersisa hitungan menit, 13 penari baru berhasil berkumpul. Latihan last minute!
Heboh dengan pemasangan kostum yang memang cukup banyak atributnya, pusing dengan hafalan gerakan, takut akan kekacauan yang jelas sangat bisa saja terjadi di atas panggung besar itu.

Ada pikiran lain yang akhirnya memotivasiku.

Aku satu dari 5 orang tim kerja. Jauh hari sebelum keberangkatan, banyak hal yang terjadi di depan mataku. Bagaimana banyak pihak yang membuatku dan teman-teman tim kerja harus tarik urat. Salah satunya mengenai penampilan kebudayaan dari Pilgrim Indonesia. Singkat cerita, ada usaha untuk sama sekali tidak melibatkan pilgrim yang telah terdaftar di bawah tim kerja kami.
Saat itu, istilahnya aku berani berantem. Yuk berantem aja yuk!
Bagiku, pilgrim kami ada yang sudah terdaftar jauh hari, bahkan 1 tahun sebelum hari H keberangkatan. Lantas mengapa mereka yang sudah jelas terdaftar melalui tim kerja justru tidak dilibatkan. Prinsipku jelas, lebih baik Indonesia tidak menampilkan apapun daripada orang lain yang tidak jelas keberadaannya, yang tiba-tiba muncul di akhir, dan bahkan mengabaikan pilgrim yang sudah ada sejak lama. Toh, aku yakin dari 100 lebih pilgrim, pasti ada yang punya talenta untuk menampilkan kebudayaan Indonesia. Pikirku, lalu 100 pilgrim kami hanya dijadikan penonton?
Lagipula rangkaian WYD bukanlah soal apa yang bisa kita tampilkan. WYD jauh lebih dari itu.

Akhirnya aku memberanikan diri, “Ayo kita cari pelatih. Kita latihan. Pasti bisa.” Kali ini berani mati.. hahahaha.. Tapi, bukankah ‘kenapa harus yang lain kalau dari kita banyak yang berpotensi dan bertalenta?’ :)
Mulailah kami, 13 penari, berlatih seminggu sekali. Aku juga berkoordinasi dengan Anggi dan Tita dari Sintang mengenai satu tarian yang akan mereka tampilkan.
Sampai hari H, Tarian Yamko Rambe Yamko kami masih sangat jauhhhh dari sempurna. Bisa dibilang, masih berantakan banget! Itu kenapa aku super takut. Tapi latar belakang yang terjadi beberapa bulan lalu itu yang membuatku yakin bahwa aku harus maju. Aku harus menyelesaikan yang telah aku mulai, walaupun hasilnya sama sekali tak bisa kuprediksi.

15 menit sebelum naik panggung, aku dan penari lainnya bak artis atau mungkin bak boneka berpakaian unik. Banyak orang yang mengarahkan kameranya kepada kami, juga tak sedikit yang mengajak berfoto bersama. Hati panik, yang ngajak foto banyak.. hahahaha.. Yaa dinikmati ajaa, kapan lagi jadi artis..

10 menit sebelum naik panggung, kusaksikan teman-teman Sintang menaiki panggung besar tersebut. Hati makin berdebar. Dulu, di masa mudaku, beberapa kali aku naik ke atas panggung dan ditonton oleh banyak orang. Tapi kali ini berbeda. Sudah terlalu lama sejak terakhir aku berada di panggung dan aku merasa bukan lagi saatnya bagiku untuk tampil. Ditambah kali ini, aku harus berada di depan ribuan orang dari berbagai negara dan akupun membawa nama negara. Bisa dibayangkan bagaimana perasaanku..

Dan akhirnya saat itupun tiba. No turning back. Hanya bisa melangkah maju menaiki tangga panggung. Di saat berada di tengah panggung, kulihat begitu banyak orang yang menantikan tarian kami. Banyak.
Yang ada di pikiranku? Ya, mau apa lagi selain melakukan yang terbaik. Pasang senyum terbaik dan menari bagi Dia.
Tiga menit yang begitu berarti, sejak dentuman awal lagu Yamko Rambe Yamko hingga pose terakhir saat aku mengangkat tanganku.
Aku tidak tahu bagaimana orang melihat tarian itu, aku bahkan tidak tahu apakah gerakanku benar dan sesuai dengan music. Yang aku tahu, aku telah mempersiapkannya dan mengusahakan yang terbaik. Selebihnya, biarkan Tuhan bekerja.

Riuh gemuruh tepuk tangan dan teriakan mengiring langkah kami meninggalkan panggung besar itu. Kupeluk Larry sambal menitikkan air mata. Rasa haru biru menyergapku. Hati ini sangat bersyukur atas kesempatan yang baru saja aku miliki. Hanya 3 menit, sangat singkat tapi berarti dan akan melekat dalam ingatanku. Perjuangan dan kegigihanku akan ini semua menemui ujungnya. Warsaw menjadi saksi bahwa apapun yang kita lakukan dengan tulus dan niat hati akan membuahkan hasil yang manis.
Banyak orang yang menghampiri kami, para penari, di bawah panggung. Berfoto bersama atau memberikan ucapan selamat. Dukungan teman-teman pilgrim kurasakan begitu berarti. Mereka yang tadinya asing, menjadi orang-orang yang penting. Tak tergambarkan rasanya. Dari  khawatir menjadi ucapan syukur yang tak terhingga.
Tarian itu mungkin hanyalah hal sederhana tapi aku belajar banyak hal. Bukan soal tampil atau terlihat di depan begitu banyak orang, tapi soal ketulusan hati.
Apapun yang kita lakukan, lakukanlah dengan sepenuh hati..

Malam itu, aku pulang dengan perasaan luar biasa.
Dalam bus pariwisata yang mengantar kami kembali ke Marki, mulut ini tak berhenti tersenyum. Hati ini penuh rasa syukur.
Yang menjadi terpenting bukanlah hasil akhir, tapi bagaimana kita berproses untuk mencapai hasil akhir tersebut.
Dan aku bersyukur diberi kesempatan untuk melewati banyak proses hingga mencapai saat ini.

Turun di depan Gereja Isidore, papa telah berdiri menantiku.
Aku tersenyum penuh arti. Satu lagi pengalaman berharga berhasil kutulis dalam buku cerita kehidupanku..



Tentang hati..

Comments

Popular Posts