Journey to The Center of Brazil (Part Two)

Beberapa teman mulai mempertanyakan, "Gantung banget sih cerita lo!" Atau, "Mana lanjutannya? Gua nungguin ni.."
Mohon maaf karena jeda yang cukup lama dari Part One ke tulisan ini.. :D
Seperti biasa aku sok sibuk, banyak kegiatan yang membuat aku pulang larut malam hampir setiap harinya. Jadi lanjutan cerita ini agak terbengkalai. Tapi sejujurnya aku tahu aku punya utang. Dan seperti janjiku, aku pasti akan menyelesaikan cerita ini. Bukan hanya karena aku telah berjanji, tapi karena aku sangat menikmati berkisah tentang Brazil.
So, happy reading, friends.. :)


Beberapa hari di Rio de Janeiro membuatku semakin menikmati kota ini. Kota yang kata orang memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi. Kota yang kata orang sangat kacau atau berbagai cerita negatif lainnya. Tapi bagiku, kota ini indah dan aku sangat menikmatinya.
Hari-hari awal di Rio diisi dengan rintikan hujan tanpa henti seharian penuh. Hal tersebut membuat udara semakin dingin, jalanan becek, dan kami harus selalu mengenakan jas hujan.

25 Juli 2013
Pun di hari ini, hujan pagi membuat kami enggan beranjak dari rumah mama. Rasanya ingin semakin meringkuk di kolong selimut dan tidur.. hahaha.. Tapi aku harus bangun dan melanjutkan perjalananku di kota Rio ini. Seperti kukatakan di post sebelumnya, selalu ada semangat baru di tengah kelelahanku. Kembali berjalan kaki menuju gereja, dilanjutkan menuju sekolah, aku pun berjalan dengan semangat baru di pagi ini. Lelah semalam seolah telah terhapus, entah oleh apa. Yang pasti rintik hujan pagi ini tak menghalangi rangkaian acara yang ada.
Tiba di sekolah, acara katekesis telah menanti. Uskup dari Malta memberikan pengajaran kepada kami orang Indonesia, Canada, Australia. Di tengah katekesis ini aku berkesempatan untuk mengaku dosa kepada pastor dari Filipina. Katanya, saat WYD kita semua sangat dianjukan untuk melakukan pengakuan dosa. Dan aku berhasil melakukannya walaupun awalnya aku merasa sungkan dan malas. Tapi aku berpikir untuk tetap mengaku dosa. Sederhananya, aku berpikir, ‘Kapan lagi ngaku dosa di Brazil? Dalam momen WYD pula.’
Akhirnya dengan bahasa Inggris secukupnya, aku berhasil mencurahkan apa yang menjadi ganjalan di hatiku. Pengakuan dosa selesai. Berhasil! Berhasil! Hohoho..
Katekesis masih berlanjut, hujan pun terasa semakin lebat. Kututup rapat jaket merahku, dinginnya makin terasa.

Rio pagi itu terasa amat dingin dan kelabu. Kalau ada kesempatan untuk bisa melanjutkan tidur, akan langsung kulakukan.. hahaha.. Beruntungnya tak pernah ada kesempatan seperti itu. Selalu ada satu kesempatan yang sangat menarik: melanjutkan rangkaian WYD. Rasanya, tidur dan lelah berada di urutan terakhir. Walau cuaca sangat mendukung untuk kembali berselimut dan terlelap, aku lebih ingin berjalan kaki melanjutkan peziarahanku di Rio.

Setelah katekesis, kami mengikuti misa konselebrasi. Ini bukan misa pertama yang aku ikuti selama berada di Brazil. Tapi rasa luar biasa tetap kurasakan. Ada rasa yang berbeda saat merayakan Ekaristi bersama rekan muda dari Indonesia, juga dari negara-negara lain, dalam event besar, dan di jauh dari Tanah Air. Aku dan mereka berbeda kulit, tapi kami membuat tanda salib yang sama, kami menerima hosti yang sama, kami merayakan Ekaristi bersama.
This is why I’m very proud to be Catholic! :)

Selesai misa, bubarrr… Petualangan segera dimulai. Kami harus meninggalkan Bras de Pina untuk menuju kota. Si bolang beraksi! :D
Melewati rute yang sama diiringi rintik hujan: sekolah tempat katekesis menanjak menuju gereja St. Cecilia, menurun menuju stasiun kereta. Stasiun kereta Bras de Pina seolah menjadi milik kami yang berjaket merah ini. Setiap harinya kami harus menunggu kereta datang, paling cepat sekitar 15 menit. Pernah kami menunggu kereta hingga 1 jam. Jadi stasiun ini seolah menjadi tempat nongkrong kami. Kami bercanda, kami ngobrol, berfoto ria, bahkan sampai tidur menggeletak. Di manapun, rasanya menjadi menyenangkan karena kebersamaan yang kami miliki. Di Jakarta, mana pernah aku ngemper di stasiun. Tapi di Rio, itu menjadi hal yang menyenangkan.. :)

Gerombolan Merah Menanti Kereta

Kereta tak kunjung datang? Selalu ada cara untuk bersukacita.. :)


Hari ini ada acara besar yang harus kami ikuti di Copacabana Beach. Papa Francesco!!! Dia akan datang ke Copacabana untuk menyapa kami anak muda dari seluruh dunia. Siapa yang tak ingin berada di sana. Sudah pasti ingin berada di barisan paling depan untuk menatap Paus secara jelas. Tapi kami tahu hal tersebut mustahil. Untuk bisa masuk ke tengah pantai pun rasanya sudah menjadi mujizat. Ditambah hari ini bisa dibilang kami ‘kesiangan’. Sekitar pukul 3 sore kami baru berangkat dari Central. Memang acaranya dimulai sekitar pukul 6 sore. Tapi jutaan orang telah menunggu dengan manis dari beberapa jam sebelumnya. Jadi saat kami tiba di pantai, yang bisa kami lihat hanyalah kerumunan orang. Pantai Copacabana berubah menjadi lautan manusia.
Sederhananya, siapa yang tak ingin melihat Paus? Siapa yang tak ingin bertatap muka dengan Paus?
Jadilah keadaan seperti ini. Kisah ini menjadi sangat seru untuk kuceritakan sekarang. Padahal waktu itu, saat mengalaminya, rasanya stres, panik, heboh, semua campur aduk. Memasuki area Copacabana, semakin banyak orang yang kulihat. Gege sebagai grup leader memimpin barisan dan kami diminta mengikutinya dengan bergandengan tangan. Kami pun bergandengan tangan sambil terus berjalan menembus kerumunan orang. Aku merasa menjadi semakin mini di tengah jutaan orang raksasa.. (nasib orang asia yang mini.. hahaha..)
Terus berjalan sambil bergandengan tangan tampaknya bukan pilihan yang tepat. Yang memilih untuk bergandengan tangan, sudah pasti bukan hanya rombongan Indonesia. Bisa dibilang hamper semua orang di sana bergandengan tangan agar tidak ada satu orang pun yang terhilang atau lepas dari rombongan. Tapi di tengah kerumunan yang sangat padat itu, bergandengan tangan bagaikan malapetaka. Ular-ularan yang kami buat justru membuat kami terikat satu sama lain. Kusut! hahaha..
Kerusuhan dimulai saat kami menyelusup ke tengah kerumunan, berharap dapat melihat layar raksasa. Aku yang mini, jangankan melihat layar, yang kulihat hanyalah punggung orang-orang. Hanya bisa pasrah. Melihat keadaan yang tidak mengenakkan, Gege pun berusaha untuk keluar dari kerumunan. Rasanya memang sudah tidak memungkinkan untuk melihat Paus. Masih tetap bergandengan tangan, bersama Nory di depanku, dan Surya di belakangku. Kami pun beranjak ke luar, mencari daerah yang agak lengang. Di sinilah keos terjadi..
Keadaan serba salah kualami, melepaskan gandengan tangan artinya terhilang dari rombongan. Tetap bergandengan, membuatku terhimpit dan sulit bernafas. Perlahan kami menuju ke luar kerumunan. Tapi itu rasanya seperti berusaha keluar jeratan maut.. hahahaha.. Aku dan Nory hanya bisa saling menguatkan, “Ayo Nory angkat kepala, ambil nafas sebanyak-banyaknya.” Nory pun demikian, “Cici… Gimana ni? Mulai susah nafas..” Tarik menarik pun terjadi. Ditarik dari depan, ditarik dari belakang. Heboh! Hanya bisa mengikuti ke mana aku ditarik. Kaki terinjak dan terbentur kiri kanan, entah dengan apa. Aku tak bisa melihat jalanan karena semua tertutup oleh orang. Lutut menghantam batu besar yang ada di trotoar hingga nyaris terjatuh. Mungkin hanya tinggal sedikit lagi aku menyentuh jalanan. Beruntung aku masih bergandengan tangan dengan Nory dan Surya. Mereka yang menahanku. Tanpa bergandengan mungkin kami sudah ngusruk terjerembab.. Setelah kakiku terbentur cukup keras, akhirnya kami berhasil keluar dari kerumunan. Thanks, God! Rasanya lega.. Bersyukur sekali aku masih diberi kekuatan yang sangat cukup untuk berada di keadaan seperti itu. Sangat bersyukur pula aku berada di tim yang selalu saling mendukung. Di saat hampir terjatuh, ada teman-temanku yang menopangku. That’s what friends are for.. :)

Satu lagi yang membuatku bangga sebagai Katolik.
Di tengah keadaan berdesakan seperti itu, tak kutemukan wajah sangar yang ingin saling mendorong. Mereka semua berdiri dan menunggu dengan wajah penuh sukacita. Tidak tampak sama sekali wajah tidak sabar atau wajah kesal karena harus berdesak-desakan. Saat kakiku terinjak, mereka hanya tersenyum dan berkata, “Ouh so sorry..”
Ini sangat wooww!! Event dunia ini membuatku semakin merasa takjub akan iman Katolik yang kumiliki. Tak peduli warna kulit atau jenis rambut, kami semua bersaudara di dalam Kristus.

Keluar dari kerumunan, kami hanya bisa menunggu di tempat yang lebih lega. Hanya kudengar sayup-sayup Paus berbicara, menyapa kami semua. Kami pun masih menunggu beberapa teman lain yang masih tertinggal di kerumnan karena gandengan tangannya terlepas. Salah satunya Verby.
Dan kali ini ada kisah lain yang tersisa, yang patut dikenang.. hehehe..
Saat gandengan tangan kami terlepas hingga akhirnya satu teman kami kehabisan oksigen dan pingsan. Menurut saksi mata, saat melihat teman kami itu pingsan, kerumunan orang yang tadinya sangat padat tiba-tiba pecah menjadi kosong dan langsung memberikan jalan kepada teman-temanku untuk lewat sambil menggotong si pingsan.
Sebegitu pedulinya mereka semua terhadap satu sama lain. Mereka seolah tanpa ego dan langsung berbelas kasih saat melihat sesamanya mengalami sakit atau kesulitan. Another reason why I’m very proud to be Catholic.. J

The show must go on.. hahaha..
Perjalanan kami pun harus terus berlanjut.. Bagaikan habis perang, prajurit yang tersisa hanya setengahnya. Sisanya masih menolong teman kami yang pingsan. Kesulitan komunikasi pun membuat aku tak bisa menghubungi Verby. Hanya bisa yakin bahwa mereka semua baik-baik saja.
Kami yang berhasil lolos pun kembali berjalan, untuk memenuhi janji dengan Duta Besar Indonesia untuk Brazil. Beliau mengundang kami untuk makan malam di sebuah restoran Chinese Food. Jangan berharap ada kendaraan untuk mencapai restoran tersebut karena World Youth Day salah satunya adalah tentang berjalan kaki.. :)
Puluhan kilometer pun akan kulalui tanpa keluhan atau umpatan, karena sejak awal aku tahu tentang hal tersebut. Jadi perjalanan kami selalu kulalui dengan penuh sukacita. Ini yang namanya peziarahan rohani dan aku bangga menjadi bagiannya.

Restoran Chinese tersebut terletak di Copacabana Beach. Hanya saja pantai ini panjangnya kiloan meter. Amat sangat panjang! Dan ternyata si restoran tersebut berada hampir di akhir pantai Copacabana. Jadilah perjalanan kami menjadi amat panjang.. hahaha..

Setelah ada seorang seorang teman yang pingsan dan harus dirawat sejenak di posko kesehatan, ada seorang teman lagi yang mengalami cedera kaki. Aldi mengalami cedera lutut hingga menyebabkan dia tidak bisa berjalan. Di trotoar, kami pun harus membaringkan dia, mencari pertolongan pertama.
Salah satu hal yang membuat saya langsung jatuh cinta pada Negara ini adalah kehangatan serta ketulusan yang dimiliki oleh orang-orang Brazil. Mungkin mereka tak mengenal istilah ‘orang asing’. Terbukti saat Aldi terbaring kesakitan di trotoar dan kami mengerumuninya, mulai banyak warga yang melintas dan bertanya bahkan hendak menolong Aldi. Bahkan ada yang langsung mengeluarkan ponselnya untuk memanggil ambulans. Wow! Takjub dan agak tak enak hati karena harus merepotkan warga setempat. Hingga ada seorang pria yang dengan tulus menawarkan rumahnya untuk Aldi beristirahat sejenak. Tapi berhubung kami harus memenuhi undangan Duta Besar dan tempat kami tinggal pun masih sangat jauh dari Copacabana, kami pun tidak menerima tawaran pria tersebut. Aldi akhirnya diantar oleh mobil polisi ke restoran Chinese Food.
Lalu pria tersebut tetap kekeuh menawarkan bantuannya. Pria tersebut bagaikan malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk memimpin langkah kami menuju restoran. Jarak yang cukup jauh tentu saja bisa membuat kami tersesat. Tapi pria itu bersedia berjalan jauh bersama kami.
Kami semua hanya bisa merasa takjub dan berpikir, ‘Ternyata masih ada ya orang seperti ini, yang masih begitu peduli terhadap sesamanya.’ Aku sendiri berpikir bahwa dunia ini telah menjadi sangat individualis, semua orang hanya berpikir dan bertindak untuk dirinya sendiri. Brazil mengajarkanku hal yang sesungguhnya.
Tiba di restoran, hanya kata ‘Obrigado’ yang keluar dari mulut kami. Saat itu hati kami tersentuh oleh orang asing yang tiba-tiba muncul. Kami tersadar tentang bagaimana seharusnya kami bersikap kepada sesame kami.

Makan malam di meja bundar, serasa di Jakarta. Lengkap dengan mangkok dan sumpit, sedikit bisa mengobati rasa rindu akan rumahku.
Aku bersama Landri, Erika, Mario, Surya, Dede berada di satu meja bundar. Saat tersebut menjadi saat bagi kami untuk berbagi cerita tentang apa saja yang kami alami selama di Rio. (Selama di Rio, kami memang berjalan dalam grup-grup kecil)
Duta Besar sendiri pun merasa sangat senang akan kehadiran anak-anak muda Indonesia di Rio, untuk sebuah perhelatan besar ini.
Selesai jamuan makan malam dan ramah tamah, acara malam itu ditutup dengan berfoto bersama.

Serasa baru menemukan meja bundar.. :D

Looks yummy!

Bersama Bapak Ibu Duta Besar Indonesia untuk Brazil

Waktu menunjukkan hampir pukul 10 malam saat aku dan teman-teman meninggalkan restoran. Yang aku tahu, aku harus kembali berjalan jauh untuk bisa menemukan bis kota menuju stasiun Central. Malam menjelang, lelah menyerang. Aku pun mulai berharap bertemu si Doraemon yang mengeluarkan ‘pintu ke mana saja’ sehingga aku dapat langsung muncul di Bras de Pina..
Mimpi.
Nyatanya aku harus berjalan kaki. Tapi Tuhan itu selalu baik dan selalu memahami apa yang anak-anakNya butuhkan.
Acara di Copacabana kali ini dihadiri jutaan orang yang ingin menyambut Paus. Itu sebabnya seluruh jalan menuju pantai ini disterilkan dari kendaraan. Alhasil seluruh pilgrim harus turun dari bis beberapa kilometer sebelum pantai dan harus berjalan kaki. Seharusnya perjalanan pulang pun demikian. Kami harus berjalan kaki sebelum menemukan bis umum.
Tapi setelah acara makan malam, jalanan sekitar pantai pun sudah mulai dibuka. Puji Tuhan, kami hanya cukup berjalan beberapa ratus meter menuju halte terdekat dan si bis umum yang dimaksud pun tiba! Yeeeyyy!! Aku mengharapkan ‘pintu ke mana saja’, Tuhan sediakan yang lebih praktis.. hahaha..

Duduk di dalam bis, walau sebentar, harus kugunakan untuk beristirahat karena perjalanan menuju rumah mama di Bras de Pina masih sangat jauh.
Rasanya badan kaku, kaki kencang. Di setiap langkah yang kulalui ada rasa ‘nyelekit’ di telapak kakiku. Beruntung, aku masih kuat sehingga tak minta digendong.. hahaha..
Salah satu keajaiban WYD yang kualami: fisikku yang sangat kuat.. Praise Lord!

Tiba di Bras de Pina, waktu telah tengah malam. Hari ini aku dan teman-teman gagal ‘bertemu’ Paus. Malah ada beberapa ‘korban’.. hehehe.. Tapi aku yakin esok hari selalu ada harapan baru. Paus masih akan berada di Rio untuk menyapa kaum muda. Entah kenapa ada sebuah keyakinan dalam diriku bahwa kami akan menatap Paus.

26 Juli 2013
Pagi ini seperti biasa selalu kumulai dengan semangat dan kekuatan baru. Setelah lebih dari seminggu berada di negeri orang, dengan kegiatan yang menguras kekuatan fisik ditambah cuaca dingin, rasanya sangat mungkin bila aku ambruk sakit. Tapi Dia selalu menjagaku, membiarkan aku kuat berjalan melalui seluruh kegiatan yang ada di Brasil. He’s my Hero, who strengthen me every single day!

Katekesis hari kedua yang kuikuti masih di tempat yang sama, di sekolah, tapi oleh Bishop berbeda. Kali ini katekesis dibawakan oleh Bishop dari Australia. Sama seperti hari kemarin, acara pun ditutup dengan misa konselebrasi. Selesai misa, kami pun bersiap kembali menuju Copacabana.
Kalau di Jakarta, sudah pasti aku akan mogok dan memilih tinggal di rumah. Copacabana itu pantai yang letaknya sangat jauh dari Bras de Pina.
Uppsss… Salah! Yang benar, tempat tinggal kamilah yang terlalu jauh dari Copacabana. Bahkan warga setempat yang mengetahui bahwa kami tinggal di Bras de Pina pun sangat kaget dan mengatakan bahwa tempat tinggal kami sangat jauh. Mari membayangkan kalau di Jakarta mungkin seperti Grogol menuju Bekasi.. Sangat jauh! Hehehe..
Tapi ini di Rio, bung.. Sudah pasti aku tak mungkin mogok atau memilih tinggal di rumah. Sejauh apa pun pasti akan kujalani.
Hari ini ada acara Jalan Salib di Copacabana. Paus akan kembali berkeliling menyapa kami semua. Tentu saja hal tersebut membuatku begitu bersemangat, setelah hari kemarin kami gagal menemukan sosok Paus.

Seperti yang telah kuceritakan, seluruh pilgrim harus berjalan kaki cukup jauh untuk bisa mencapai pantai Copacabana. Kami berjalan di jalan raya, melalui terowongan panjang, dengan pemandangan gedung bertingkat, juga patung Christ Redeemer yang tampak sangat kecil nun jauh di sana.
Kiloan meter harus kulalui dan aku masih sangat bingung dengan kaki kami yang menjadi sangat kuat. Padahal secara logika, kakiku telah melangkah begitu jauh.. Puluhan kilometer. Tapi sukacita yang kami rasakan sepertinya menghapus rasa pegal tersebut.
Ya! Bagaimana tidak? Kami rombongan Indonesia berjaket merah gonjreng berjalan kaki bersama sambil berteriak, “IN DO NE SIAAAA!!” Diiringi bunyi peluit dan terompet. Kami yang hanya berjumlah sekitar 40 orang tak merasa menjadi minoritas, mungkin karena efek jaket.. hahaha.. Tapi berjalan kaki bersama ratusan ribu anak muda dari berbagai Negara sudah tentu membuat kami bangga. Walau jumlah kami kecil, kami tak berbeda dengan anak muda lainnya. Kami bertemu begituuuu banyak orang muda dari berbagai Negara, yang menyapa, berfoto bersama, bertukar cendera mata, atau hanya sekedar bertukar senyum. Kulit kami berbeda, wajah kami berbeda, rambut kami berbeda, tapi kami tahu bahwa kami satu di dalam Tuhan. Perjalanan panjangku kali ini benar-benar menakjubkan. Saat di mana sejauh mata memandang, hanya orang-orang yang kudapati. Begitu banyak orang berjalan menuju arah yang sama, juga untuk tujuan yang sama. Rasanya seperti long march di jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Tapi jalanan menuju Copacabana jauh lebih lebar. Kebayang gimana ramenya? Pokoknya seru abisss!! Hehehe…








Hari ini kami semua lebih beruntung, suasana pantai masih lengang sehingga kami bisa memilih spot terbaik di balik pagar untuk menanti Paus. Setelah menemukan spot terbaik, kami pun membentuk pagar betis. Perempuan di dalam dan yang pria di bagian luar. Aku harus menunggu cukup lama hingga waktu yang ditentukan, waktu di mana paus akan berkeliling dengan mobilnya dan menyapa kami semua. Alhasil, kami duduk, berdiri, berfoto, ngobrol. Tahu apa yang dilakukan para lelaki di barisan luar? Mereka ‘berjualan’ souvenir!
“Exchange souvenir?? Exchange souvenir??”
Banyaknya orang yang berlalu lalang menjadi sasaran empuk bagi teman-teman kami ini untuk ‘berjualan’. Berasa di pasarrrr booo! Hahaha..
Dan mereka menghasilkan banyak souvenir dari berbagai negara. Seru!!
Ini yang namanya ‘kesempatan dalam kesempitan’.. Berdesak-desakan, tapi tetap mencari peluang untuk souvenir.. hahaha..

Hari mulai gelap saat kami bersiap untuk detik-detik kedatangan Paus. Semua orang berdiri dan begitu excited. Semua orang memegang kamera, siap untuk membidik Paus Fransiskus. Pun demikian aku. Walau dengan tubuh mini dan terhalang oleh beberapa orang berbadan besar di depanku, aku kekeuh dengan kamera sakuku. Aku harus melihat Paus dan memperoleh gambarnya.

Ini hasil dari aku yang mini:







Sebegitu histerisnya semua orang saat Paus lewat. Begitu bersemangatnya kami semua untuk menatap langsung Paus. Euforia luar biasa yang beruntung bisa kurasakan meskipun aku harus berjuang lebih.

Setelah Paus berlalu, banyak orang yang meninggalkan Copacabana. Aku sendiri tetap berada di sekitar pantai, berusaha mengikuti Jalan Salib, tapi karena aku berada terlalu jauh dari pantai, alhasil Jalan Salib berlalu begitu saja.
Rombonganku pun mendadak lenyap. Tersisa aku, Verby, Karina, Yaya, Nory, Dar, dan Gege. Acara di panggung akbar terus berlangsung. Pujian dan tarian.
Kami memilih untuk menikmati pasir Copacabana. Bernyanyi, menari di lembutnya pasir, diiringi angin dan deburan ombak. Kusadari keberadaanku saat itu. Aku berada di Rio, Brazil. Aku berada jauh dari tempat biasa kuberada. Dan aku dipenuhi oleh begitu banyak berkat. Aku hanya bisa bergumam dalam hati, ‘I am so blessed!’

Malam menjelang, kami pun harus beranjak kembali ke Bras de Pina. Kutinggalkan Copacabana dengan satu kepastian: kehadiranku kembali di esok hari.. :)

Tiba di rumah mama, aku melakukan ritual malamku. Cuci kaki, cuci tangan, cuci muka, sikat gigi, ganti piyama, boboooo!!
Mungkin ini rahasiaku tetap kuat selama di Rio: ga pake mandi malam! Langsung blek tidur.. hahaha..
Bukan jorok, bukan malas..
Tapi udara Rio yang dingin sudah pasti tak membuatku berkeringat, jadi mandi 1 kali sehari sudah sangat cukup. Hemat air, hemat sabun.. Kan numpang di rumah orang, jadi harus seefisien mungkin.. hahahaha…

Boa noite..


Akan ada cerita lebih menarik di postingan selanjutnya, tentu saja masih tentang Rio de Janerio.. :D

Comments

Popular Posts