One Hard Word
Senin pagi, hari kerja pertama di
bulan September.
Setelah libur cukup lama, mamiku
memutuskan untuk kembali mengikuti senam aerobik. Kebetulan tempat senam
tersebut searah dengan perjalananku ke kantor. Jadi aku berangkat lebih pagi
dan mengantar mami, baru aku menuju kantor.
Setelah mami turun, aku melanjutkan
perjalanan. Kulihat jalur yang berlawanan denganku macet. Beruntung jalur yang
kulalui sangat lengang. Tapi aku cukup terkejut saat kulihat begitu banyak
motor dari arah berlawanan melaju dengan santainya di jalurku. Mereka semua
melawan arah, mengambil jalur yang bukan seharusnya. Kesal melihat keadaan
seperti itu, aku mengedipkan lampu dim, berharap mereka semua sadar bahwa
mereka berada di jalur yang salah dan mereka sedang membahayakan diri sendiri
dan orang lain.
Bukannya sadar, salah satu
pengendara motor malah berteriak satu kata kasar.
Saat diteriaki seperti itu, aku
bukan sakit hati. Aku bingung, hanya bisa geleng-geleng kepala. Aku bergumam, “Yang
salah siapa ya? Galakan dia.. Ampun deh..”
Kulanjutkan perjalananku menuju
kantor sambil masih tak habis pikir. Bukan tak terima karena diteriaki kata
kasar. Tapi aku masih terus berpikir, mengapa ada orang seperti itu. Sudah
melakukan kesalahan tapi malah mengeluarkan emosi yang lebih galak. Bukankah
seharusnya saat kita melakukan kesalahan, kita mengucapkan kata maaf?
Ya, benar.. Seperti itu teorinya.
Teori yang baik.
Tapi apakah teori tersebut berjalan
dengan baik pula dalam kehidupan kita sehari-hari?
Aku pun berpikir. Semakin aku
berpikir, aku makin mengerti bahwa hampir semua orang, termasuk aku akan sangat
tidak terima bila berada dalam posisi yang salah atau kalah. Setiap kita akan
memasang benteng pertahanan, entah untuk membela diri atau menyelamatkan diri.
Iya atau tidak?
Hehehe.. Tak perlu dijawab..
Tapi pagi itu, aku menjadi punya
bahan refleksi pribadi. Terlepas dari si pemotor atau siapapun, aku pun merasa
seperti itu. Dalam banyak situasi, aku cenderung membangun sikap selalu benar.
Saat berada dalam posisi salah pun, aku akan berusaha mencari pembenaran,
berusaha agar bukan aku yang menjadi pihak salah.
Pernah mengalami keadaan seperti
ini?
Apakah memang kita dididik dari
kecil untuk seperti ini?
Atau apakah memang ini budaya negara
kita?
Atau lebih karena ego kita?
Seingatku, pelajaran TK atau SD
mengajarkanku untuk meminta maaf saat melakukan kesalahan. Tapi seiring dengan
berjalannya usia, kita malah mencegah agar kata maaf terucap dari mulut kita,
sekalipun kita yang salah.
Senin pagi ini menyadarkanku bahwa ‘maaf’
menjadi sesuatu yang sangat berat dan sulit. Untuk dilakukan, untuk diucapkan.
Mengucap kata ‘maaf’ seringkali
berarti kita mengakui kita kalah. Padahal kalau memang salah, ya kata ‘maaf’lah
yang harus terucap.
Mengucap kata ‘maaf’ bukan berarti
kalah, tapi berarti kita memiliki keikhlasan hati, kerelaan hati untuk menerima
dan mengakui kesalahan kita sendiri.
Siapakah dari antara kita yang telah
memiliki hati yang selapang samudera?
Aku berani bilang, aku belum
memiliki hati seperti itu.
Jadi, mari kita mulai berjuang untuk
itu..
Berani mengucap ‘maaf’ dan berlapang
dada.. :)
Comments
Post a Comment