Journey to The Center of Brazil (Part One)
Sao Paulo.. yang telah memberiku berjuta kehangatan.
Sao Paulo.. yang telah menunjukkan kepadaku tentang arti
sebuah ketulusan.
Sao Paulo.. yang indah.
Sao Paulo.. yang akan selalu hidup di dalam hatiku..
Beberapa hari yang indah, yang membuatku memohon agar aku
bisa terus merasakan hangatnya pelukan itu. Tapi waktu yang memutuskan. Dengan
bercucuran airmata, kulambaikan tangan tetap dengan harapan untuk bisa berjumpa
di lain waktu.
Bertolak dari kota penuh kasih, Diadema, ini kisahku di
ibukota Brazil.
Di penghujung hari istimewaku, harus kulakukan satu hal
yang kubenci: saying goodbye. Waktuku
untuk Sao Paulo telah habis. Ibaratnya, aku telah menikmati surga penuh
kenikmatan dan sekarang aku harus menuju dunia nyata: Rio de Janeiro.
Ada sedikit kekhawatiran juga rasa penasaran tentang kota
ini. Berkali-kali Papa Valdir mengingatkanku untuk selalu berhati-hati dengan
tas, dompet, dan semua barang bawaanku. Kesan yang kutangkap, Rio adalah
ibukota yang sangat tidak aman dan menyeramkan. Kurasakan betapa khawatir dan
tidak relanya Papa saat harus melepasku ke Rio. Pun demikian aku. Rasanya ingin
lebih lama berada di Diadema, menikmati waktu bersama keluarga Papa Valdir. Tapi
waktu harus terus berjalan.
Pukul 12 malam, saat bis besar perlahan meninggalkan
Diadema. Mata berairku pun langsung kututup. Lelap dalam sekejap, mungkin
karena lelah menangis.
Yang kutahu dari Ariana, Sao Paulo-Rio berjarak sekitar 8
jam perjalanan darat. Fiuhhh.. Jauhnyaaaa..
22 Juli 2013
Saat matahari menyapa, aku dan mungkin seisi bis (tentu
saja kecuali supirnya hahaha..) baru terbangun. Kurang lebih 7 jam aku berhasil
terlelap. Hemm.. Pencapaian yang cukup baik. Ini membuktikan bahwa aku mudah
sekali tidur.. (sama seperti di post sebelumnya, aku tertidur hampir 25 jam
selama di pesawat.. hahaha..)
Setelah perjalanan yang cukup panjang tersebut, kupikir
aku telah berada di Rio. Ternyata aku salah. Aku berada entah di mana, di
belahan dunia yang entah sebelah mana. Yang kulihat hanya kumpulan bis besar
yang parkir dengan rapinya. Bis-bis yang mengangkut anak muda dari berbagai
negara, yang siap untuk mengikuti World Youth Day. Aku berada di sebuah tempat
transit, tempat untuk menunggu sebelum kami boleh memasuki perbatasan kota Rio.
Kami semua harus menunggu di sana sekitar 3 jam untuk bisa melanjutkan
perjalanan. Hal tersebut karena terlalu banyak bis yang akan masuk ke Rio, jadi
harus diatur agar tidak terjadi kemacetan panjang. Langsung terbayang seperti
apa riuhnya Rio. Jutaan pilgrim akan masuk kota Rio. ‘Pasti rame dan macet
banget ni,’ pikirku.
Sekitar pukul 9 pagi, bis melanjutkan perjalanannya.
Aku pun melanjutkan tidurku.. hahaha.. (terkesan pelor yaaa.. tapi ini kunci
aku tetap segar bugar tanpa sakit selama di Brazil juga hingga tiba di Jakarta:
tidur kapan dan di manapun ada kesempatan.. hahaha..)
Memasuki waktu makan siang, bis kami pun memasuki kota
Rio.
Setelah belasan jam perjalanan dari Sao Paulo, transit
berjam-jam entah di mana, bermacet-macet, inilah dia: Rio de Janeiro!! Yeeeeyyyy!!!!
Aku tiba di kota yang dari setahun lalu ada dalam
bayangan dan angan-anganku.
Masih tetap berada di bis dengan perut yang krucuk
krucuk, kuamati suasana kota ini. Langsung kutebak, aku berada di pusat kota.
Banyak gedung bertingkat dengan jalan protokol yang dilintasi banyak mobil.
Benar-benar mirip Ibukota Jakarta. Dari jauh terlihat, patung Christ Redeemer di atas bukit. Pikirku, "Selangkah lagi menuju ke sana!"
Group Leader, Gege dan Nory, harus turun di sebuah
tempat untuk mengambil Pilgrim Kit kami. Aku dan teman-temanpun diminta untuk
langsung menuju tempat di mana kami akan tinggal. Paroki St. Cecilia. Bis
kembali melaju, dan rasanya tak kunjung tiba. Cukup jauh dari tempat kami
meninggalkan Gege dan Nory.
Sekitar pukul 3 sore, aku dan rombongan Indonesia tiba
di St. Cecilia.
Akhirnyaaaaa.. Total perjalanan bis dari Diadema
sekitar 14 jam. What a long trip. Fiuuhh!!
Tiba di St. Cecilia, kami semua diminta untuk berkumpul
di aula karena masih belum ada informasi pasti di mana kami akan tinggal,
apakah di aula atau di host parent.
Melewatkan sarapan dan makan siang, ditambah belum
mandi hampir selama 24 jam seharusnya menambah tingkat kelelahanku. Tapi entah
kenapa, aku masih merasa kuat. Laper sih, tapi ga sampe mau makan orang koq..
hahaha.. Aku masih bisa menahannya, perut dan badanku pun seolah mengerti
keadaan.. :)
Yang bisa kulakukan hanya mencuci muka dan sikat gigi.
Itu yang terbaik yang bisa kulakukan. Ga mandi seharian? Ga masalah.. I’m still
OK! hahaha..
Selanjutnya aku hanya duduk atau selonjoran di lantai,
menunggu informasi.
Tiba-tiba Evi datang bersama pria-pria yang mengangkut
kotak besar. Baru kutahu kalau ternyata isinya ratusan roti keras setelah Evi
berteriak,
“Guysssss…. Maaf banget yaaa guyssss… Tadi gua uda
keliling untuk cari makan siang untuk kita. Tapi ga nemu. Ada, tapi harganya
mahal banget. Jadi gua beli roti ini untuk kalian. Maaf bangetttt yaa… cuma
bisa kasih ini. Tapi gua beli rotinya banyak koq, jadi boleh ambil lebih. Maaf
yaaa guysss…”
Perasaan belum Lebaran, Vi.. Minta maaf mulu lo kayak
Mpok Minah.. (bajaj bajuri dah.. hahaha..)
Ini yang belum sempat kusampaikan pada Evi atau tim
kerja.
Vi, at that
moment I really thank you. Dengan keadaan seperti itu, ada roti keras 1
buah pun aku amat bersyukur. Dengan keadaan lelah, kamu masih bersusah payah
mencari makan siang untuk kita semua, itu hal yang benar-benar kuhargai.
Istilahnya, masih syukur ada yang nyariin makanan, ada yang bawain makanan. So why should I expect more? It’s more than
enough!
Thanks a lot, Evi.. :)
Selesai menyantap roti keras yang cukup dengan topping
mentega dan sepotong semangka, aku melangkah menuju gereja. Aula dan gerejanya
berseberangan, cukup berjalan kaki.
Let me say that this is a beautiful church. Simply
beautiful.. I love this.
In Love with This Church |
Selesai berfoto ria, aku kembali ke aula. Hari sudah
gelap, Gege dan Nory belum juga tampak. Kembali aku duduk leyeh leyeh di sudut
aula. Sejauh mata memandang kami seperti orang-orang yang mengungsi, yang
ditampung di sebuah aula.
Aku lalu teringat Gege dan Nory.
I have to thank them.
Ya, bagaimana tidak. Di saat aku sudah bisa bersantai-santai, berfoto ria,
mungkin Gege dan Nory masih harus bersabar dalam antrian panjang demi mengambil
Pilgrim Kit kami. Thanks, my GL.. :)
Mulai malam, saat Gege dan Nory datang bersama
kotak-kotak besar berisi Pilgrim Kit. Aku langsung sumringah saat Gege
berteriak, “Guys, semuanya warna biru ya!”
Horaaayyyy!!!
Dari jauh hari, saat melihat foto yang diposting di
Facebook World Youth Day, aku mulai berdoa agar bisa mendapat Pilgrim Kit
berwarna biru, karena ada 3 pilihan yakni biru, kuning, dan hijau. Dan terjadilah
sesuai doaku, BIRU! hohohoho…
FYI, I’m blue freak.. hahaha..
Bak anak kecil yang mendapatkan mainan baru, kami semua
heboh membongkar isi tas biru.
Ada buku panduan misa dan doa, kaos, botol air, kalung
salib. Ditambah ID card juga 2 buah kartu keras. Kartu transportasi dan kartu
makan yang sudah pasti akan menemani kami semua selama di Rio. Yeeyyy.. Makan
dan keliling Rio gratis.. (anggep aja gratissss.. hahaha..)
My Pilgrim Kit |
Selesai pembagian jatah tersebut, Gege mengumumkan
bahwa kami akan tinggal di hostparent. Yang perempuan akan tinggal di rumah
warga, sedangkan yang laki-laki akan tinggal bersama di sebuah rumah kosong. Wooww!
Aku langsung terbayang kapal pecah! hahaha..
Satu per satu kami pun dijemput oleh hostparent. Aku
tinggal berenam dengan Luci, Felicia, Ci Jo, Ci Juve, dan Tante Paula. Tiba di
rumah host parent, dalam hati aku langsung mengucap terimakasih pada Mama.
Rumahnya bisa dibilang kecil, tapi dia rela berbagi dengan kami berenam. Dia
rela bersusah payah merapikan rumahnya menjadi lebih lega agar kami bisa tidur
dengan baik. Obrigada, Mama..
Karena sudah sangat malam, kami langsung berbagi tempat
tidur. Once again I thank You, Lord..
Aku mendapat kasur.. :)
Malam itu langsung kupejamkan mata untuk beristirahat.
Dalam diam, malam pertamaku di Rio kuisi dengan aliran airmata. Rasa rindu
menyergapku.
Posisi kasurku di Rio yang sama dengan posisi kasur di
Diadema, membawaku kembali ke sana.
Aku rindu Papa Valdir, Mama Marta, Ariana, Diego, juga
rumah mereka yang sangat hangat.
Aku rindu kasur dan selimut hangatku di rumah mereka.
Aku rindu Diadema.
Rasanya hanya dalam sekejap aku sudah berpindah tempat,
meninggalkan orang-orang terkasih dan bertemu dengan orang baru lagi. Aku
berharap waktu bisa berputar lebih lambat agar aku bisa lebih menikmati setiap
detik keberadaanku.
23 Juli 2013
Alarm kami berenam bersahut-sahutan. Aku yakin kami
berenam mendengarnya tapi tak ada yang mau bergerak untuk mematikan.. hahaha..
Kurasa kami terlalu lelah untuk bangun dan bergerak. Tapi matahari seolah memaksa
kami semua untuk bangun, mandi, dan bersiap.
Aku penasaran, hari ini apa yang akan kami semua lakukan.
Aku tak sabar melihat dan berkeliling kota Rio.
Perjalanan si bocah petualang dimulai.
Pagi hari aku dijemput oleh seorang ibu yang mengenakan
kaos bertuliskan ‘Voluntario’. Tanpa membuka google tradutor, aku sudah bisa
tahu bahwa ibu ini sukarelawan untuk acara WYD. Aku pun berjalan kaki menuju
gereja. Untuk pertama kalinya aku melihat sekeliling wilayah St. Cecilia. Keluar
pintu rumah, aku mengarahkan badanku ke kanan. Aku berjalan menuruni jalanan
yang cukup curam. Rumah mamaku ini memang berada cukup tinggi. Pagi pertama,
perjalanan menurun ini masih kami lalui dengan penuh semangat. Tiba di ujung
jalan, aku harus menyeberang jalan, lalu menaiki tangga, dan tiba di stasiun
kereta. Karena aku harus berkumpul di gereja, aku pun menyeberang rel kereta,
menuruni tangga. Lalu, berjalan menanjak menuju gereja.
Fiuuhhh.. Tiba di gereja dengan nafas Senin Kamis..
hahaha..
Perjalanan belum selesai. Di ID card yang dibagikan
semalam, ada tulisan tanggal 23 hingga 28, yang artinya aku akan memperoleh
sarapan setiap paginya. Dan kami harus mengambil sendiri kotak sarapan
tersebut. Aku bertemu Verby yang sudah sedang menikmati sarapannya. Dia
berkata, “Mending lu glinding aja deh. Biar cepet.. hahaha..”
Aku berpikir dia berlebihan. Aku pikir, ah pasti dekat
ni. Ternyataaaa… Jalan kaki menuju tempat pengambilan sarapannya sih ga berasa.
Pulangnya kembali ke gereja, alamaakkkk… Senin Kamis lagi. Jadi dari gereja aku
harus melalui jalanan menurun untuk tiba di sekolah, tempat pembagian kotak
sarapan. Setelah kotak sarapan di tangan, aku harus kembali lagi melewati
jalanan yang sama, yang artinya menanjak. Kurussss… hahaha..
Breakfast Box |
The Content |
Setelah semua berkumpul, dengan jaket merah kebanggaan,
aku dan rombongan berjalan menuju stasiun kereta. Kuulangi rutenya, dari gereja
aku harus melangkah melalui jalanan menurun. Lalu menyeberang jalan, menaiki
tangga stasiun, turun di tengah jembatan. Sampai deh… Ya, mirip jembatan Trans
Jakarta.. hehehe..
Kulihat untuk pertama kalinya papan nama stasiun: Bras de
Pina. Ooo.. Aku tinggal di daerah ini toh..
Setelah beberapa menit menunggu, kereta listrik pun tiba.
Naikkk…
Perjalanan yang cukup panjang harus kulalui untuk tiba di
pusat kota Rio, sekitar 30 menit dari Bras de Pina. Aku baru menyadari kalau
aku tinggal di pinggiran kota Rio. Mungkin kalau di Jakarta, seperti
Sudirman-Bekasi.
Tiba di stasiun kota: Central do Brasil.
Stasiun kereta yang boleh dibilang cukup megah. Seperti
stasiun yang sering kulihat di tv. Bangunan cukup tua, dengan jam besar di
salah satu sisinya. Kios-kios penjual makanan memenuhi stasiun ini.
Sejauh mata memandang: pilgrim dengan berbagai warna
kulit, berbagai bendera. Berteriak-teriak dalam bahasa masing-masing, bertepuk
tangan, atau sekedar bertukar sapa.
Jadi ini suasana World Youth Day.. Hemm… I love it! :)
Riooooo!! |
Kami diberikan waktu bebas untuk makan siang, atau
apapun. Dan kami diminta untuk berkumpul kembali di Central pada pukul 2 siang.
Aku, Verby, Karina, dan Surya pun tak buang waktu. Langsung
ngacirrrr…
Tujuan pertama kami adalah sebuah gereja megah. Aku harus
menggunakan metro. Sepanjang kami berempat berjalan kaki, selalu ada yang
menyapa. Kebanyakan anak muda dari Brazil dan Argentina. Entah apa yang membuat
mereka tertarik dengan kami. Karena wajah yang terlalu Asia kah, atau karena
jaket keren kebanggaan? hehehe.. Yang pasti aku sangat menikmati saat-saat itu.
Bak artis yang diteriaki penggemarnya, ya kira-kira seperti itulah kami
berempat.. :D
“Where are you from? Do you have something to exchange?”
Dua kalimat yang beratus kali kuucapkan selama di Rio.
Yes.. Bertemu begitu banyak anak muda Katolik dalam satu
event dunia seperti ini menjadi sesuatu yang langka. Rasanya belum tentu semua
orang seberuntung aku yang dapat merasakan euforia ini. I’m so lucky, yes I
am!
Dengan waktu yang terbatas dan harus melayani ‘penggemar’
(hahaha.. banyakkk banget yang manggil-manggil untuk minta foto atau bertukar
souvenir..), membuat kami terbirit-birit menuju gereja. Tiba di dalam gereja,
aku hanya bisa berujar, “Woww!”
Gereja yang sangat besar dan modern. Tampak dari luar,
lebih cocok disebut markas militer atau markas agen rahasia. Keren dan bagus!
Interior di dalamnya sederhana tapi sangat wah!
huge church |
Saat sedang sibuk berfoto, seorang anak muda menyapa
kami. “Indonesia?” tanyanya. Wajahnya sangat Asia, tapi dia berbicara bahasa
Inggris. Kami menjawab, “Yes!” Dia pun memperkenalkan dirinya. Ternyata dia
lahir dan tumbuh hingga remaja di Jakarta. Karena kerusuhan 1998, dia beserta
keluarga hijrah ke Australia. Walau mulai terbata-bata, dia masih bisa
berbicara bahasa Indonesia. Tampak dia sangat senang bertemu dengan kami, orang
Indonesia. Walau telah lama di luar negeri, tanah kelahiran tetap tak
terlupakan. Itu yang kutangkap dari gadis ini.
Si Gadis Ausie |
Aku pun meninggalkan gereja ini, menuju kembali ke
Central. Tiba di Central, baru tampak beberapa teman kami. Saat sedang
menunggu, terdengar dengan jelas teriakan, “IN DO NE SIAAA… IN DO NE SIAAAA…”
Kupikir, ada rombongan Indonesia yang jauh lebih semangat
dari kami. Ternyata, Lucas, Everton dan rombongannya. Aku hanya bisa
tercengang. Aku yang orang Indonesia pun tak sampai segitu hebohnya meneriakkan
negara kami. Tapi kulihat saudara kami dari Diadema yang begitu bersemangat.
Luar biasa!
Agenda besar hari ini adalah Misa Pembukaan oleh Uskup
Rio de Janeiro di Copacabana Beach.
Copacabana berada cukup jauh dari Central, bisa ditempuh
dengan bis atau metro. Kali ini kami menggunakan metro. Keluar dari stasiun
metro, kulihat begitu banyak anak muda berjalan kaki menuju pantai.
Copacabana!!!! Here I am! So glad to be here…
Rasanya tak terkatakan saat telapak kaki ini menyentuh
pasir Copacabana. Rasa syukur, haru, bahagia menjadi satu. I praise You, Jesus!
Berjalan menyusuri pasir Copacabana, kulihat begitu
banyak bendera berkibar. Bahkan terlalu banyak bendera yang baru pertama kali
kulihat. World Event!
Suasana di Copacabana |
Misa pembukaan kuikuti dengan sangat khusyuk, di tengah
terpaan hujan dan angin laut. Tanpa mengerti bahasa yang digunakan, aku tetap
dapat mengikuti misa.. (This is one of
the reason why I’m very proud to be Catholic). Panggung raksasa nan megah
menjadi pemandangan yang luar biasa. Tata suara dan multimedia yang sangat
bagus pun menambah meriahnya WYD ini. Meski hanya bisa kusaksikan dari layar
raksasa, aku tetap sangat menikmati misa pembukaan tersebut.
Selesai acara, terjadi kerusuhan. Tarik-tarikan dan
dorong-dorongan tak jelas. Selesai misa, tentu saja artinya bubarnya massa.
Badanku yang mini terasa tak berarti saat harus berjuang keluar dari kerumunan
orang. Beruntung kami semua bisa lolos dari kerumunan tersebut.
Hujan semakin deras, angin pun terasa semakin dingin.
Sekitar pukul 10 malam dan aku tak tahu harus berbuat apa. Lelah rasanya dan
aku masih harus melalui perjalanan sangat panjang untuk dapat tiba di Bras de
Pina. Satu-satunya cara untuk kembali ke Central adalah kembali naik metro. Tapi
antrian metro sudah mencapai luar stasiun, di jalan raya depan stasiun. Aku dan
beberapa teman pun memilih untuk menunggu hingga antrian tersebut habis.
Sekitar pukul 11 malam, keramaian di sekitar stasiun metro pun reda. Aku dapat
dengan mudahnya masuk ke dalam stasiun tanpa harus mengantri. Tiba di Central,
masih ada 1 kereta kosong yang akan mengantar kami ke Bras de Pina.
Kami semua mendapat tempat duduk. Tapi ternyata itu bukan
sesuatu yang nikmat.
Guess what?! Kereta tersebut tak kunjung berangkat! Huaaa…
Mau nangis rasanyaaaa… Badan lelah, ingin segera tidur. Aku sudah tertidur di
kereta. Ketika terbangun, kereta tetap belum berangkat. Baru kusadar, kereta
yang kunaiki ini adalah kereta terakhir.
Dari jam 12 malam, kami baru diberangkatkan pukul 1.45.
Bayangkan berapa lama aku duduk menunggu tanpa kepastian.. :(
Sekitar pukul 2.30 pagi, aku baru tiba di Bras de Pina.
Berjalan kaki menuju gereja St. Cecilia. Beruntung masih ada volunteer yang
siap mengantar kami semua.
Malam itu kututup dengan tidur pada pukul 3 pagi..
Hanya bisa berharap, keesokan harinya aku memiliki
baterai baru..
24 Juli 2013
Bangun
agak siang, sekitar pukul 8 pagi. Thanks, God.. Aku segar seperti sediakala,
walau kurang tidur dan lelah. Ritual di pagi hari, berjalan kaki menuju gereja.
Kali ini kubelokan badanku ke kiri dan memilih jalan satunya.
Jadi
kalau digambarkan, seperti inilah peta rumah tempat kami tinggal. Setelah
berjalan beberapa langkah, aku bisa melihat gereja St. Cecilia. Gereja ini
memang terletak di atas bukit. Terlihat dari tempatku berdiri, bangunan lancip
tersebut. Cukup jauh, tapi menjadi pemandangan indah bagiku. Perjalanan pun
dilanjutkan. Baru kusadari, aku tinggal di dataran tinggi. Dan hari ini, aku
harus menuruni ratusan anak tangga untuk dapat tiba di ujung jalan. Tuhan tahu
ajaa ni aku jarang olahraga di Jakarta… hihihihi…
Ritual
yang sama dengan hari sebelumnya: berjalan kaki.
Dari
rumah menuju gereja, tapi kali ini aku tidak turun ke sekolah untuk mengambil
sarapan. Kesiangan! hihihi..
Berkumpul
di depan gereja, kami pun siap menuju Central, tentu saja dengan cara yang
sama. Naik kereta listrik.
Tiba
di Central pun, kami diberikan waktu bebas sampai pukul 2 siang. Kembali aku
bersama Verby, Karina, dan Surya melancong.
Berjalan
kaki menjauh dari stasiun Central, kami masuk ke sebuah museum. Bak menemukan
air di padang pasir, kami mendapatkan toilet yang sangat waahhh! Bersih!
Senangnyaaaa… Plus dispenser air gratis! Berjuta senang rasanya.. hehehe…
Dari
museum, kami berjalan kaki lagi dan menemukan restoran yang menyajikan Chine se
Food. Seperti menemukan harta karun! Setelah lebih dari seminggu berada di
negeri orang, lidah ini rasanya telah sangat rindu dengan makanan khas Asia.
Walau
tak persis seperti apa yang biasa kumakan, ini lebih dari cukup..
Mie Goreng yang Menggugah Selera |
Big Portion |
Saking
kalapnya bertemu Chinese Food, kami memesan terlalu banyak. Alhasil, satu porsi
ayam goreng pun harus kami bungkus.. hahaha..
Selesai
makan siang, kami berempat kembali berjalan menuju Central. Rasanya rugi kalau
tak mampir lagi ke museum untuk mengunjungi toilet dan dispenser air.. hahaha..
Kami pun masuk dan bertemu seorang volunteer yang mengajak kami ke sebuah
ruangan. Ruangan tersebut berisi lukisan-lukisan hasil karya anak-anak. Oleh si
penjaga ruangan, kami diberi layangan unik. Senang rasanya mendapat layangan
tersebut. Tapi keluar dari ruangan tersebut, kami kebingungan. Layangan yang
cukup besar dan rasanya mustahil bila kami membawanya pulang.
Ini Layanganku :) |
Dan
Karina memutuskan untuk membawa pulang keempat layangan tersebut, meskipun sulit.. :)
Petualangan
kami pun berlanjut. Kami berempat benar-benar menjadi bocah petualang di hari
Rabu ini. Rio terus diguyur hujan rintik tanpa henti. Jadi udara terasa semakin
dingin dan jalanan yang kami lalui pasti becek. Tapi aku menikmati petualangan
ini.. hehehe..
Sebelumnya
kami mendapat informasi dari Gege bahwa di hari ini akan ada Asian Youth
Gathering (AYG). Dengan naluri petualang, kami pun berusaha mencari tahu
sendiri di manakah tempat berlangsungnya AYG. Tapi ternyata tidak sesederhana
yang kami bayangkan. Kami pun keluar masuk stasiun metro, berkali-kali bertanya
pada warga setempat, bertanya pada volunteer yang berjaga di setiap stasiun.
Jawaban mereka simpang siur. Bahkan saat bertanya pada warga setempat pun kami
mendapat jawaban yang berbeda. Para volunteer yang kami tanyai pun bahkan tidak
tahu bahwa hari ini ada AYG. Rasanya tempat AYG memang terpencil.
Beruntung
melalui ponsel Surya (fyi, aku, Verby dan Karina tidak mengaktifkan handphone
selama di Brazil.. hehehe.. benar-benar menikmati perjalanan tanpa gangguan),
kami berhasil menghubungi Gege dan Nory. Mereka pun menunggu di salah satu
stasiun metro.
Jelang
sore, kami berhasil bertemu teman-teman, kami pun bersama menuju tempat AYG.
Kami naik bis. But guess what?! Aku seperti berada di Jakarta. Kami terjebak
kemacetan yang hampir tak bergerak. Jalanan Rio sore itu benar-benar padat.
Melihat
jalanan yang tanpa harapan, kami pun memutuskan untuk membatalkan rencana ke
AYG lalu turun dari bis.
Waktu
menunjukkan pukul 7 malam saat kami turun dari bis. Perut krucuk krucuk..
Ahaaa!! Ayam goreng tadi siang menjadi penyelamat! Di tengah gerimis dan
dinginnya angin, menggerogoti ayam dan melumat tulangnya menjadi sesuatu yang
menyenangkan, ditambah itu semua kami lakukan bersama.. hahaha.. Ini yang
namanya kebersamaan.. :)
Satu atau
dua potong ayam seperti bensin bagi tubuh kami. Terus diiringi gerimis, kami
berjalan kaki menuju sebuah gereja.
Dalam
setiap panjangnya perjalanan yang harus aku lalui, tak pernah kukeluarkan
kata-kata keluhan, karena aku tahu di depan sana ada sesuatu hal yang baru yang
akan kulihat, kunikmati, dan kubawa pulang sebagai pengalaman hidup.
Tiba
di gereja tersebut, lagi-lagi hanya ‘Woww’ yang bisa kuucapkan. What a great church!
Ornamen
dan setiap detil dalam gereja tersebut membuatku tak bisa berhenti berdecak
kagum. This is one more reason why I’m
very proud to be Catholic..
Interior Gereja |
Kebetulan
saat itu akan diadakan ibadat Taize. Kuikuti ibadat tersebut dengan nyanyian
Taize berbahasa Portuguese dan Latin.
Selesai
ibadat Taize, kami pun memutuskan pulang. Kali ini aku berjalan bersama Verby,
Karina, Surya, Nory, dan Dar. Hujan masih terus turun, jas hujan pun tak lepas
dari badanku. Kembali kami berjalan sambil mencari tempat makan malam.
Sepanjang
perjalanan pun kami bertemu banyak pilgrim dari Ausie, Peru, Argentina. Di
tengah hujan dan lelah, selalu terselip semangat untuk saling menyapa, bertukar
tanya, bertukar souvenir. Rasanya semangat untuk itu tak akan pernah habis.
Kami pun
menemukan KFC!
Bak
orang kelaparan, kami memesan begitu banyak ayam goreng. KFC pasti memiliki ciri
khas di tiap negara. Di Rio, kali ini kutemukan nasi, ayam fillet, beserta sup
kacang merah. Gostoso!
Antara Lapar dan Kalap! |
KFC di Rio.. Yummy! |
Bill yang Menunjukkan Kekalapan Kami (1 Real sekitar 5.000 Rupiah) |
Perut
kenyang, sebagai asupan yang cukup untuk kami berjalan menuju Central, naik
kereta listrik ke Bras de Pina, lalu melalui jalan menanjak untuk tiba di rumah
host parent kami.
Tiba
di Bras de Pina, berharap rumah kami tinggal selangkah dari stasiun. Tapi
nyatanya tidak seperti itu.
Ditambah
satu kejadian lucu.
Tiba
di stasiun, kami pun bersiap turun. Sebelumnya kami bertemu dengan pilgrim dari Chile. Kami sempat bertukar souvenir dengan mereka.
Saat
pintu kereta terbuka, aku pun keluar. Sempat kudengar Verby mengucap, “Bye Chile, bye Chile…”
Brekkk…
Begitu pintu kereta tertutup dan kereta menjauh, aku mencari Verby, Nory, dan
Surya. “Loh? Verby mana? Nory mana?”
Mereka
bertiga terbawa di dalam kereta… hahahaha… *ngakak…
Sesuatu
yaaa.. Padahal badan sudah lelah, dan mereka bertiga, bersama banyak teman
Indonesia harus turun di satu stasiun setelah Bras de Pina, lalu berjalan kaki
kembali. Lumayan olahraga malam hari di tengah gerimis hujan.. hahaha..
Aku
tahu WYD ini bukan wisata koper, yang dengan nikmatnya ke sana ke mari
menggunakan bis sewaan atau tinggal di hotel.
Ini
sebuah peziarahan. Sebuah perjalanan yang sangat tidak mudah. Perjalanan yang
sangat menguras energi.
Tapi
entah mengapa, aku tidak mengeluh. Malah aku menikmati setiap langkah kakiku
yang terasa menyakitkan. Aku menikmati setiap tetes air hujan yang menyentuhku.
Aku menikmati setiap sudut kota Rio yang tertangkap oleh mataku. Dan satu hal
yang kuyakini, bahwa selalu ada kekuatan baru saat kubuka mataku di pagi hari.
Tiba
di rumah mama, kuletakkan keempat layangan yang sudah berpindah tangan dari Karina. Kupilih tempat yang benar agar tidak rusak.
Ada rasa syukur yang terlalu besar, bukan karena layangan berhasil tiba di rumah dengan selamat. Tapi karena boleh melewati satu hari lagi di Rio.
Kuserahkan rasa lelahku kepadaNya dan berdoa agar besok pagi aku diberikan
kekuatan baru untuk terus menjalani rangkaian WYD di Rio.
(this is the end of part one.. it’s
long enough, so I have to make it into some parts… so, please be patient to
wait for another stories about Rio… I still have lots of great stories to tell
you.. :D thank you..)
Comments
Post a Comment