Terseok
Sangat sulit
kupahami apa yang sedang bergejolak di dalam sini...
Kumainkan sedotan hijau di tangan kananku. Entah berapa kali telah kuputar sedotan tersebut. Seharusnya tak perlu lagi kuaduk minuman ini karena minuman ini telah ada di hadapanku sejak 15 menit yang lalu. Tapi tanganku seakan mengerti kegundahan hatiku. Seakan ingin menyalurkan rasa di hati, terus kumainkan sedotan tersebut.
Semuanya tampak
buram, seakan sulit mengarah pada suatu terang...
Kumainkan sedotan hijau di tangan kananku. Entah berapa kali telah kuputar sedotan tersebut. Seharusnya tak perlu lagi kuaduk minuman ini karena minuman ini telah ada di hadapanku sejak 15 menit yang lalu. Tapi tanganku seakan mengerti kegundahan hatiku. Seakan ingin menyalurkan rasa di hati, terus kumainkan sedotan tersebut.
Kualihkan kepalaku
ke sisi kanan. Di luar kaca, kulihat mobil dan motor berlaluan. Lama kutatap kaca
bening tersebut, tapi aku tahu bahwa tak ada yang benar-benar sedang
kupandangi. Mataku hanya menyorot kosong, tanpa maksud apa pun. Karena
sebenarnya pikiranku berlarian entah ke mana.
Duduk di sebuah
sofa yang cukup besar (ya, setidaknya bagiku yang bertubuh mungil ini) dan ruangan yang dilengkapi pendingin, seharusnya
membuatku nyaman. Tapi entah mengapa nyaman itu seakan jauh dari diriku. Ada suatu
rasa di dalam hati ini yang bahkan aku sendiri tak mampu menggambarkannya. Sempat
aku berharap ada sebuah alat yang mampu mendeteksi apa yang sebenarnya hatiku
rasakan.
Kedai kopi ini tak
terlalu ramai di sore menjelang malam, bahkan di hari libur seperti ini. Hanya ada
aku dan 2 orang lain di meja pojok. Pas sekali kupilih kedai kopi ini, pas
dengan diriku yang memang sedang ingin menyendiri.
Kumiringkan tangan
kiriku, jarum panjang jam telah jauh meninggalkan angka 12. Artinya orang yang
kutunggu telah melewati waktu yang kita janjikan bersama.
Kugenggam gelas
kopi dengan kedua tanganku, merasakan detik yang berlalu, dan menunggu kapan orang itu
akan muncul di hadapanku. Aahh… Andai aku bisa melompati masa penyiksaan
seperti ini.
Kudengar barista
meneriakkan, “Selamat sore!” Dan kulihat orang itu muncul di pintu utama kedai
kopi ini. Dadaku berdegup, dalam hati berkata, ‘Inilah saatnya..’
Dari jauh kulihat
orang itu tampak menawan dengan kemeja kotak-kotak biru dan celana jeans belelnya. Rambut jabriknya tertata
rapi. Orang itu terlihat segar dan tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan
segaris senyum tipis. Susah payah aku berusaha tersenyum dan mengendalikan
degup dadaku ini.
Dalam hitungan
detik, dia telah duduk di sofa besar di hadapanku. Degup dadaku makin tak
terkendali. Oohh Tuhan, tolong hilangkan aku dari tempat ini. Aku tak sanggup…
Aku menarik
nafasku, panjang… Otakku berusaha keras untuk merangkai kata. Setelah rangkaian
kata selesai, giliran tenggorokanku yang tercekat. Betapa sulit keadaan ini.
Dua tahun lalu, aku
masih mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyelesaikan skripsi. Duduk di
tempat yang sama dengan hari ini, aku masih memegang laptopku, bersama green tea latte favoritku. Memandangi layarnya
dan berusaha keras untuk merangkai kata-kata ilmiah demi sebuah gelar. Di tengah
konsentrasi tinggiku, seorang pria menghampiriku. “Maaf, apakah laptopnya connect internet? Boleh saya pinjam
sebentar hanya untuk membeli tiket pesawat? Ibu saya sakit dan sesegera mungkin
saya harus pulang.”
Aku masih melongo
saat dia telah duduk di hadapanku. Aku pun mengangguk dan menyerahkan laptopku
padanya. Hanya sekitar 15 menit dia telah mengembalikannya padaku. Dia berhasil
membeli tiket pesawat dan akan berangkat tengah malam itu juga.
Itulah awal
pertemuanku dengan dirinya. Tanpa kesan apa pun…
Aku memang sering
mendatangi kedai kopi ini karena letaknya yang tak jauh dari kampusku. Entah apa
jalan cerita yang Tuhan siapkan bagiku. Dia ternyata bekerja di gedung tepat di
sebelah kedai kopi ini. Jadi setelah perjumpaan tanpa perkenalan itu, aku
sering bertemu dia.
Dan hari ini, 2
tahun setelah pertemuan tersebut, aku harus melakukan sesuatu yang sangat tak
mudah.
Dua tahun yang
berlalu telah menjadi kenangan termanis bagiku. Karena hadirnya dia benar-benar
memberi warna dalam hidupku. Cinta, yang sebelumnya tak pernah kumengerti,
menjadi sesuatu yang begitu berharga karena dia yang mengajariku bagaimana
mencintai dengan tulus.
“Maafkan aku…”
Hanya itu kalimat
pertama yang meluncur dari bibirku.
Kurasakan wajahku
mengencang. Aku sadar bahwa sebenarnya aku tak sanggup berada di posisi ini. Kulihat
mimiknya yang mulai bingung.
“Aku harus pergi…
dari hidupmu….”
Badannya bergerak
maju, meraih dan menggenggam kedua tanganku. Aku semakin tak sanggup.
“Tak bisa
kujelaskan alasanku meninggalkanmu. Tapi ini demi kebaikanmu. Aku hanya ingin
kamu bahagia, tapi bukan bersamaku.”
Andai bisa lebih
panjang lagi kata-kata yang keluar dari mulutku. Terlalu banyak yang ingin
kuutarakan, tentang perasaan yang bergejolak. Tapi rasanya begitu berat. Bahkan
untuk menatap matanya, aku harus berjuang hebat.
“Terima kasih,
untuk cinta yang tulus… Maafkan aku…”
Kulepaskan
genggaman tangannya, kuraih tas jinjingku dan segera kuangkat badanku, berjalan
cepat meninggalkan kedai kopi ini.
Genangan air di
pelupuk mataku pun tumpah. Rasanya badan ini berjalan sendiri, aku lunglai. Sekuat
tenaga kulangkahkan kaki agar aku segera jauh dari tempat yang penuh kenangan,
juga dari dia…
Kurasakan hanya
bola matanya yang mengikutiku. Dia masih terduduk diam, tanpa berbuat apa pun. Mungkin
masih terkejut dengan apa yang kukatakan barusan. Tapi aku berusaha tidak
peduli. Terus kulangkahkan kaki menuju mobilku. Duduk di belakang kemudi, aku
pun tersedu-sedu. Rasa sesak menghantam hatiku…
Satu pertanyaanku, “Mengapa
tak Kau berikan aku kesempatan? Sekali saja…”
Dada ini terasa
semakin terhujam tatkala kuingat apa yang dikatakan dokter spesialis, 3 minggu
yang lalu. Di saat itu pula, aku pun menghapus mimpi indah yang pernah kurangkai
bersama dia yang kucinta. Kuhapus semua
cinta indah ini, juga kenangan yang terlalu manis…
Hingga aku berada
di sini, saat ini… Melepaskan dia, demi kebahagiaannya…
Meski terseok, aku
akan terus berjalan.
Melalui hari-hari
sambil terus berusaha menerima kenyataan.
Berusaha terus menikmati
sisa hari-hariku, meski tanpa dia.
*tercipta dari inspirasi yang mengalir begitu saja, saat aku berdiam dalam kamar tercinta di Sabtu malam ini... ;D
*tercipta dari inspirasi yang mengalir begitu saja, saat aku berdiam dalam kamar tercinta di Sabtu malam ini... ;D
Comments
Post a Comment