I Left My Heart in Polska (Part Four)
Tak sedikit yang bertanya padaku, “Ngapain aja sih di
sana?” dan aku biasanya agak kesulitan untuk menggambarkan apa yang aku lakukan
selama rangkaian WYD. Mungkin kata-kata dapat menggambarkan kegiatannya. Tapi
rasa itu tak bisa digambarkan.. Terlalu banyak rasa yang kami alami..
24
Juli 2016
Pagi keempat di Marki, aku mulai merasa seperti warga
Polandia. Rutinitas yang menjadi kesukaanku. Bangun pagi, mandi dan bersiap,
lalu menikmati sarapan yang disiapkan oleh papa. Pagi ini roti panggang isi
ham, keju, paprika. Yang kulakukan setelah itupun sama seperti hari sebelumnya.
Berjalan kaki menuju gereja ditemani oleh hangatnya sinar matahari dan sejuknya
angin. Pemandangan yang juga sama, yang menjadi sesuatu yang kurindukan.
Sarapan! |
Rutinitas pagi |
Hari Minggu ini kami awali dengan misa pagi di gereja, bersama dengan ratusan umat lainnya. Pilgrim Indonesia menjadi petugas misa, lektor, koor, pemazmur. Yang terakhir ini menjadi sebuah jebakan bagiku yang akhirnya menjadi cerita lucu. Kami diminta untuk mengisi koor, termasuk menentukan lagu-lagu misa. Karena waktu yang sangat terbatas, aku berinisiatif untuk memilih lagu-lagu yang cukup familiar dan mudah untuk dinyanyikan. Salah satu lagu yang kupilih adalah FirmanMu, yang rencananya akan dinyanyikan sebagai lagu antar bacaan.
Setelah bacaan pertama selesai dibacakan, tiba saatnya
lagu antar bacaan. Beberapa dari kami yang duduk di barisan depan sebagai
anggota koor kemudian berkumpul di sekeliling microphone dan siap bernyanyi FirmanMu. Melihat itu, Sister
Ancilla, biarawati yang menjadi pendamping youth
Marki, sekaligus gitaris dan pemimpin vocal
group menginstruksikan kepada kami agar salah satu dari kami naik ke mimbar
di altar untuk menyanyikan mazmur.
Jeng jeenngg!!!
Di Indonesia, di beberapa misa, lagu antar bacaan
tidak berupa lagu mazmur dan boleh dinyanyikan oleh koor atau vocal group. Tapi ternyata bagi mereka,
lagu antar bacaan ya lagu Mazmur dan harus dinyanyikan oleh pemazmur lalu
diikuti oleh segenap umat.
Doenkkkkk bangettt nih!
Dari antara kami, tidak ada pemazmur dan kalaupun ada,
kami tidak mempersiapkan orangnya dan juga lagunya.
Hitungan detik dan di tengah misa, tak ada lagi yang
bisa dilakukan selain ada orang yang langsung maju ke mimbar altar. Bocah-bocah
dengan entengnya “Ci Vel aja maju!”
Huaaaaa.. Penjebakan!!
Mau ga mau kan.. Kalau aku menolak, yang terjadi
adalah lempar-lemparan tugas dan itu akan menjadi suatu yang konyol bila
terjadi di tengah misa, yang juga dihadiri oleh begitu umat Marki. Daripada
Indonesia menjadi pelaku sesuatu yang konyol di tengah misa, aku pun maju dan
naik ke mimbar altar. Tak ada lagu Mazmur yang kami siapkan jadi lagu FirmanMu
yang tetap aku nyanyikan.. hahahaha..
Untungnya lagu itu yang aku pilih. Formatnya mirip lagu-lagu
Mazmur. Ada reffrain dan bait,
walaupun baitnya hanya satu.. hahaha..
Reffrain:
FirmanMu p’lita bagi kakiku, terang bagi jalanku
Bait:
Waktu kubimbang dan hilang jalanku, tetaplah Kau di
sisiku
Dan takkan kutakut asal Kau di dekatku, besertaku
selamanya
Lagu itu aku nyanyikan
ulang sebanyak 3 kali agar mirip dengan lagu Mazmur.. Toh, tak ada yang
mengerti Bahasa Indonesia.. hahaha.. Setidaknya lagu antar bacaan telah
dinyanyikan dengan baik walaupun tanpa persiapan.
Setelah lagu Mazmur yang membuatku tersenyum sendiri,
misa berlanjut. Romo Hary memberikan kotbah dalam bahasa Inggris. Misa pun
berlangsung seperti biasa hingga menjadi luar biasa sesaat sebelum berkat
penutup.
Pastor Paroki Marki dan Joanna selaku ketua panitia
penyambutan pilgrim Indonesia menyampaikan kata sambutan. Sejak sebelum naik ke
mimbar, Joanna sudah terlihat berkaca-kaca, tercekat menahan tangis. Aku yang melihat pun
tak tahan untuk tidak meneteskan air mata.
Misa ini merupakan
misa terakhir kami di Marki. Misa perpisahan, sepertinya itu yang cocok.
Dengan terbata-bata menahan tangis, Joana mengucapkan
terimakasih atas kebersamaan kami selama hampir seminggu. Persiapan yang
dilakukan selama hampir 2 tahun oleh teman-teman Marki akhirnya rampung dan
berakhir dengan perpisahan. Aku sendiri menangis sedih. Mengingat rasanya baru
kemarin tiba di Marki, disambut oleh mereka yang sama sekali asing, dan besok pagi
aku sudah harus meninggalkan tempat ini. Rasanya waktu terlalu cepat berlari
hingga ingin kuhentikan, andai kubisa. Agar aku bisa lebih banyak lagi
menikmati hari-hari di Marki.
Rasa haru dan sedih menyergapi kami semua. Perkenalan
dan kebersamaan yang sangat singkat nyatanya berhasil membuat kami merasa tak
rela untuk berpisah.
Setelah berkat
penutup, kami menyanyikan lagu “Jangan Lelah”. Misa terakhir kami di Marki
ditutup dengan pelukan penuh air mata. Tanpa kata, karena apa yang di hati ini
begitu banyak dari yang kata-kata bisa ungkapkan.
Hari Minggu ini harus terus berlanjut. Hari ini dijadwalkan
sebagai hari keluarga. Papa, Mama, dan Marlena mengajakku ke sebuah pantai yang
letaknya cukup jauh dari Marki. Berfoto, berjalan bersama di
pinggir pantai, sambil menikmati eskrim Nestle, menjadi waktu berharga yang aku
miliki bersama keluarga baruku ini. Sederhana tapi aku tahu ini begitu
berharga. Tak terlalu lama kami berada di pantai tersebut, karena semua pilgrim
harus kembali berkumpul di gereja untuk acara selanjutnya. Di tengah perjalanan
pulang, Papa mengajakku melihat pusat perbelanjaan yang sangat besar di Marki. Hanya
mengitari area parkirnya karena waktu yang kami miliki sangat singkat.
Keluargaku di Warsaw |
Sekembalinya ke gereja, dengan menggunakan 2 bus, kami langsung menuju ke rumah kediaman Duta Besasr Indonesia untuk Polandia, Bapak Peter F. Gonta. Seluruh pilgrim Indonesia diundang ke kedutaan tapi karena terbatasnya waktu, hanya pilgrim Indonesia yang di Marki yang memenuhi undangan kedutaan tersebut. Di rumah Bapak Peter, kami disambut oleh karyawan-karyawan kedutaan. Bapak Dubes sendiri sedang pulang ke Indonesia. Beberapa hidangan ringan pun telah disiapkan untuk kami. Selama kurang lebih 1 jam, kami beramah tamah, berfoto bersama, juga menari Poco-poco.
Kami pun kembali ke gereja untuk acara dengan keluarga
masing-masing. Aku sendiri tidak bersama Papa Mamaku. Aku dan Marlena, juga
Monic dan Cia diajak ke rumah keluarga Larry yang letaknya cukup jauh dari
gereja.
Rumah yang begitu besar dengan halaman yang juga
begitu luas. Begitu nyaman.
Kuhabiskan senja terakhir di Marki bersama dengan
mereka.
Hangatnya matahari sore semakin mengakrabkan kami
semua. Nyanyian, obrolan, senda gurau, kue-kue kecil khas Polandia menjadi
teman kami sore itu. Ada rasa syukur juga bahagia atas momen yang aku alami
itu. Tapi seketika hatiku sedih mengingat waktu yang kumiliki di Marki hanya
tersisa sedikit lagi. Saat itu aku berharap matahari tidak meninggalkan
langitnya agar aku dapat terus berlama-lama di kota ini.
Matahari sepertinya memang mengerti perasaanku, dia
bertengger lama di langit hingga hampir pukul 9 malam. Toh nyatanya tidak
memperpanjang waktu yang kumiliki di sini. Dalam hitungan jam, aku akan
melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.
Acara di halaman gereja menjadi pamungkas malam terakhir kami di Marki. Tarian dan nyanyian seperti 2 hari lalu. Ilona dan Ola memberikan kami, anggota kelompok Orange, tanda mata, sebagai tanda terimakasih atas kebersamaan kami juga sebagai kenang-kenangan.
Senja dari rumah keluarga Larry |
Tawa dan canda lintas bahasa dan budaya di sore sebelum kami meninggalkan Marki |
Acara di halaman gereja menjadi pamungkas malam terakhir kami di Marki. Tarian dan nyanyian seperti 2 hari lalu. Ilona dan Ola memberikan kami, anggota kelompok Orange, tanda mata, sebagai tanda terimakasih atas kebersamaan kami juga sebagai kenang-kenangan.
Malam itu, kami juga memberikan kenang-kenangan kepada
Joanna, juga Joana kepada Verby dan Diana selaku person in charge pilgrim Indonesia di Marki. Selayaknya malam
perpisahan, suasana haru pun kental terasa. Berfoto dan berpelukan menjadi hal
yang paling berharga yang kami lakukan malam itu. Untuk kesekian kalinya, ingin
kuhentikan waktu. Bahkan saat diajak pulang oleh Papa Mama, aku merasa enggan.
Karena itu artinya aku harus segera berkemas untuk besok pagi siap meninggalkan
kota ini.
Detik hanyalah jarum tipis yang tak akan pernah dapat
dihentikan. Semakin ingin dihentikan, semakin melesat dia berlari.
Dinginnya angin malam
mengiring langkah kakiku. Esok takkan kurasa lagi malam di Warsaw, membuatku menghirup dalam-dalam udara malam ini.
Sesaat lagi mendekati flat. Carier dan semua barang pilgrimku sudah menunggu di sana, untuk dirapikan dan siap diangkat besok pagi-pagi benar.
Sesaat lagi mendekati flat. Carier dan semua barang pilgrimku sudah menunggu di sana, untuk dirapikan dan siap diangkat besok pagi-pagi benar.
Comments
Post a Comment