This is Why I'm Not a Flight Attendant
Dan saya pun kembali!
Hahaha..
Setelah sekian lama
tenggelam dalam kemalasan, kali ini aku mengumpulkan niat besar. Ya ditambah
rasa kangen juga terhadap blog ini.. :)
Sebuah catatan kecil
tentang perjalananku kemarin ke Negeri Tirai Bambu, tepatnya ke kota Guangzhou.
Ini hanya secuil kisah dari
banyaknya pengalaman yang kuperoleh di sana. Cerita lainnya akan kukisahkan di
judul yang lain ya.
Tiket PP telah kupesan
beberapa minggu sebelum keberangkatan. Tiket pesawat udara terbesar di
Indonesia berinisial G, menjadi pilihanku. Selain karena lebih terpercaya, juga
karena harga murah yang kudapat.. hehe..
Kupilih kembali ke Jakarta
pada hari Senin, 25 Mei 2015, dengan keberangkatan pukul 15.45 waktu Guangzhou
(1 jam lebih awal dari Jakarta), dan kedatangan pada pukul 19.45 WIB.
Penerbangan Guangzhou – Jakarta akan memakan waktu sekitar 4 jam 30 menit
Sekitar pukul 14.00 waktu
Guangzhou, aku sudah tiba di Baiyun International Airport. Dari Check-In Desk, kuperoleh info flight GA
899 tujuan Jakarta akan berada di Gate A 111, dan akan dibuka pada pukul 15.15.
Aku pun berjalan menuju gate yang telah ditentukan. Karena waktu
yang masih cukup panjang, aku pun memutuskan untuk melihat-lihat toko yang ada
di sekitar gate. Sekitar pukul 15.00,
aku pun duduk manis di dekat gate,
menanti saatnya dipanggil untuk memasuki pesawat.
Menit berlalu.
Hingga waktu keberangkatan,
gate belum juga dibuka. Penumpang
semakin menumpuk. Mungkin mereka sama seperti aku, merasa heran dan tidak
menyangka kalau maskapai yang selalu tepat waktu ini ternyata bisa terlambat
juga.
15 menit, 30 menit, hingga
45 menit berlalu, gate tetap belum
dibuka. Bahkan pesawatnya pun belum ada.
Tak ada sedikitpun
pengumuman dari pihak bandara ataupun maskapai. Jadi, kami ‘digantung’..
hahaha…
Para penumpang mulai
terlihat tak sabar. Aku sendiri tetap duduk manis melihat dari jauh kerumunan
penumpang di depan gate. Menurutku,
mau protes, mau marah, atau mau mengamuk sekalipun, tak akan berhasil
mendatangkan pesawat raksasa itu ke depan gate.
Jadi daripada membuang energi dengan memasang muka jutek, lebih baik duduk
manis dan berselfie ria.. :)))
Jelang 1 jam keterlambatan,
akhirnya kami pun dipersilakan memasuki pesawat.
Tiket di tanganku
menunjukkan nomor bangku 46 B. Aku tidak tahu pesawat tersebut sepanjang apa,
tapi feelingku berkata, aku akan
duduk di barisan paling belakang. Huff.. Tapi ada untungnya loh, nomor besar
dipersilakan masuk terlebih dahulu.. :D
Masuk dari pintu depan
pesawat, aku menyurusi lorong bangku yang sudah mulai penuh oleh penumpang yang
berlomba mengisi kompartemen di atas bangku. Untungnya aku hanya membawa handbag jadi tak perlu takut tidak
kebagian bagasi kabin.
Terus menyusur nomor demi
nomor, dan benar saja! Aku duduk di barisan terakhir, di depan toilet!
Yippiieee…
Entah harus senang atau
sedih.
Senang karena mudah untuk
bolak balik ke toilet, tapi sedih karena akan menjadi penumpang terakhir yang
keluar pesawat. Ditambah membayangkan panjangnya antrian imigrasi dan
pengambilan bagasi. Hadeehhhh… Rasanya ingin menggunakan pintu ke mana saja.
Maklum, penerbangan sore
menjelang malam, rasanya ingin segera sampai rumah.. hihihi..
Tiga kursi yang berderet,
ABC, dan aku di B.
Dari jauh kulihat ada
seorang wanita telah duduk di A, dekat jendela, dan seorang pria di B.
Mereka berdua tak lagi
muda, bahkan bisa dibilang telah lanjut usia. Kalau kutebak, umurnya sekitar 60
jelang 70 tahun.
Tiba di depan si pria, ia
pun bertanya, “Nomor berapa?”
Kujawab, “46B”
“Oom Tante suami istri?”
lanjutku.
Mereka menjawab iya.
Kutanya, “Mau duduk
sebelahan?” Aku mulai merasa risih membayangkan 4,5 jam berada di antara suami
istri tersebut.
Jawaban mereka cukup
membuatku terkejut.
“Ngga, justru dia mau duduk
dekat jendela, saya mau di pinggir sini,” kata si Oom berkacatama.
Si Tante menambahkan, “Iya
dia pilih di pinggir karena sering pipis, maklumlah sudah berumur.”
Aku pun menggangguk dengan
pasrah. Jadilah aku duduk di barisan paling belakang, depan toilet, dan berada
di antara suami istri.
Setelah duduk, aku pun
berpikir dan merasa keadaan tersebut sangat lucu. Aku yang pengantin baru,
kalau dalam keadaan tersebut pasti berharap memperoleh bangku yang
bersebelahan. Apalagi dengan penerbangan sejauh itu. Tentu saja agar bisa
mengobrol.. hahaha..
Tapi si Oom Tante itu malah
memilih apa yang mereka suka. Dalam hati, ‘Koq ga ada yang mau ngalah gitu ya
salah satu biar bisa tetap duduk sebelahan.’
Dalam hati aku pun
tersenyum dan membayangkan. Apakah ini yang akan terjadi saat pernikahan telah
berusia puluhan tahun?
Tak ada lagi cinta yang berapi-api
atau memang cinta yang telah berevolusi dari sekedar sentuhan, pelukan,
obrolan, menjadi telepati hati?
Sebuah pertanyaan kecil
yang cukup bisa membuatku berefleksi..
30 menit kemudian, seluruh
penumpang telah duduk manis, lengkap dengan sabuk pengaman yang terpasang
melingkari perut. Pramugari pun telah mondar-mandir memeriksa seluruh penutup
jendela terbuka, sandaran dalam keadaan tegak, meja telah tertutup. Pokoke wis
siap lah untuk terbang!
Semenit, dua menit, lima
menit..
Pesawat tetap dalam keadaan
terparkir.
Si tante di sebelah kiriku
mulai protes, “Ini koq ga jalan-jalan sih!”
Beberapa menit kemudian,
suara pilot yang terdengar. Dia mengabarkan bahwa pesawat tersebut belum
diizinkan untuk terbang karena cuaca yang kurang baik.
Well, kembali menunggu.
10 menit berlalu, pesawat
masih belum bergerak.
Penumpang pun semakin tak
sabar.
Suara pramugari mengabarkan
sesuatu dalam bahasa Mandarin. Aku yang tak mengerti Mandarin menganggap hal
tersebut bukanlah sesuatu yang penting. Baru saat sang pilot yang mengabarkan
dalam bahasa Indonesia, terdengar suara kecewa dari hampir seluruh penumpang
yang kebanyakan adalah orang Indonesia.
“Bapak Ibu yang terhormat,
Saya, Kapten dari ruang kemudi mengabarkan bahwa kita belum bisa terbang karena
kami baru saja menerima informasi bahwa tengah terjadi badai di sekitar
Guangzhou. Demi keselamatan bersama, kita harus menunggu sampai waktu yang
belum dapat ditentukan.”
Aku dan penumpang lain,
rasanya memiliki perasaan yang sama.
Badan mulai lelah. Mau
marah, harus marah kepada siapa.
Itu menjadi salah satu
keadaan di mana aku hanya bisa pasrah, tak bisa berbuat apa-apa.
Kulihat ke jendela, memang
terjadi hujan lebat. Awan yang sangat gelap. Ya, hal tersebut yang membuat kita
terlihat bodoh bila memilih untuk marah.
Begitulah resiko
penerbangan pesawat.
Saat itu pula, aku melihat
betapa beratnya tugas seorang pramugari.
Pramugari cantik itu mulai
hilir mudik menyajikan minuman, sambil diberondong pertanyaan oleh para
penumpang.
‘Berapa lama lagi?’
‘Kenapa ga tunggu di
terminal?’
‘Masih lama ga, mbak?’
Dipikir-pikir kasian juga
ya pramugari ditanya seperti itu. Kalau aku jadi pramugarinya, akan kujawab,
‘Yaelah, Bu.. Ini kan masalah cuaca. Mana saya tahu badai kapan berhentinya..’
hahaha..
That’s why, I’m not
a flight attendant.. hahaha..
Dengan tetap harus
tersenyum, mereka harus tetap sabar dan ramah kepada para penumpang. Apalagi
akhirnya kuketahui bahwa mereka adalah pramugari yang sama yang terbang dari
Jakarta ke Guangzhou. Keterlambatan penerbanganku juga dikarenakan oleh keadaan
cuaca di Guangzhou yang memang sedang kurang baik.
Selama berada di Guangzhou
pun, aku menikmati hujan setiap harinya. Ditambah kabut tebal yang menutupi
puluhan gedung pencakar langit.
Kembali melongok ke arah
jendela, langit masih tampak gelap dengan hujan yang tak juga reda. Otakku
mulai panas, memikirkan sisa uang 200 CNY yang tersisa di dompet. Mulai bingung
bagaimana bila seluruh penumpang diminta keluar pesawat dan menunggu di
terminal. Mulai membayangkan kalau harus menginap semalam lagi karena
penerbangan ditunda. Bisa jadi gelandangan dengan 200 CNY.
Saat tak ada yang bisa
kulakukan, Rosario di tasku menolongku. Kukeluarkan dan mulailah aku memainkan
biji-biji kecil tersebut. Sepanjang doa yang kuucapkan, hujan deras tak juga
berhenti. Bahkan sampai biji terakhir, hujan masih sangat lebat.
TV di hadapanku yang
tadinya tidak menyala, akhirnya dinyalakan agar penumpang tidak merasa bosan.
Selesai berdoa, pesawat
masih terparkir manis. Belum ada tanda pergerakan.
Well, saatnya nonton film. Touch kiri
kanan, akhirnya kupilih Bajaj Bajuri The Movie. Ada yang sudah pernah menonton?
Jujur, aku baru tahu kalau ada versi layar lebarnya.. haha.. Kupilih film
tersebut karena aku rindu Bajuri yang gendut dan lucu, dan seluruh pemerannya.
Sayangnya film tersebut jauh dari harapan. Tapi tak apalah kupikir, daripada
bosan menunggu.. :D
Baru beberapa menit Bajuri
dimulai, pesawat perlahan mulai bergerak mundur, tanpa ada pengumuman apapun
dari pilot maupun awak. Pesawat pun menyusuri landasan terbang sampai terdengar
suara, “Flight attendants please be
seated for take off.”
Terbanglah kami…
Earphone tetap menempel di telingaku. Pandangku pun tak lepas dari Bajuri di
hadapanku. Tapi dalam hatiku terucap Salam Maria berulang kali. Kualihkan
pandanganku ke jendela. Hanya satu warna yang kulihat: abu-abu tua. Tanpa ada
gumpalan-gumpalan awan yang biasa terlihat dari balik kaca pesawat. Goyangan
yang kuat terasa. Adegan Bajuri yang seharusnya mampu membuatku terbahak malah
terlihat seperti adegan horror yang membuat mukaku menegang.
Haiisshhh…
Menyeramkannya terbang dalam
keadaan seperti ini.
Kalau biasanya 5 menit
setelah lepas landas, lampu tanda kenakan sabuk pengaman telah dimatikan. Keadaan
belum dirasa ‘aman’ bahkan sampai 15 menit berlalu.
Langit sekitar Guangzhou
memang sedang tidak bersahabat.
Setelah lampu tersebut
dipadamkan, ada sedikit rasa lega.. Fiuuhhh…
Kulanjutkan tontonanku sambil
menghitung 4,5 jam yang masih harus kulalui di atas kursi pesawat ini. Ya, 4,5
jam ini terasa begitu lama bagiku. Dan bisa kukatakan ini penerbanganku yang
paling menguras emosi jantung.
Bagaimana tidak?
Di saat tersisa 15 menit
menuju Soekarno Hatta, pesawat malah bergoyang lebih dahsyat, bagai sebuah
wahana permainan.
Di saat tersisa 15 km untuk
tiba di Jakarta, aku kembali dibuat was-was. Pesawat melewati gumpalan awan
hitam lagi..
Dalam hati aku bergumam, ‘Ya
Tuhan, ini uda tinggal sebentar lagi sampe. Uda deket bangettt.. Ga lucu amat
ya malah terjadi sesuatu di saat ini.. huuaaa…’
Dan sekali lagi, aku hanya
bisa duduk. Memasrahkan hidup kepada pilot dan tentu saja kepada Tuhan.
“Flight attendants be seated for landing.”
Dan… Gabrukkkk…
Huussshhhhhhh…
Goyangan terjadi lagi dengan
lebih seru tapi kali ini aku sudah ‘menginjak’ tanah.
Yes! We are landed
safely!!
Thanks to God!
Aku tak tahu apakah Rosario
yang kulakukan sebelum terbang memberikan sebuah efek atau tidak. Aku tak
pernah tahu dan tak akan pernah tahu. Yang aku tahu, aku hanya berserah
kepadaNya, Sang Pemilik Kehidupan.
Nyatanya, Dia masih
memberiku kesempatan untuk melanjutkan hari-hariku di kota kelahiranku ini.. :)
Psstt... You now really sure why I'm not working as stewardess.. ;D
What I can do while waiting to take off.. |
Comments
Post a Comment