Bukan Sempurna
Hari Senin rasanya disepakati sebagai hari malas sedunia.
Siapa setuju denganku? Pasti banyak yang mengangkat tangannya.. hehehe..
Setelah dua hari libur di weekend,
rasanya memang sangat berat untuk memulai kembali rutinitas.
Aku sendiri bekerja di kantor yang hanya berjarak 6 km dari
rumah atau sekitar 20 menit perjalanan dengan mengendarai mobil.
Office hour dimulai pukul 8 pagi
dan aku baru keluar rumah pukul 07.30. Cukup nikmat karena aku tak perlu bangun
di pagi buta lalu berjuang menerabas kemacetan Ibukota.
Tapi nyatanya kenikmatan tersebut tetap tak mampu menghilangkan rasa malas menghadapi Senin pagi.
Tapi nyatanya kenikmatan tersebut tetap tak mampu menghilangkan rasa malas menghadapi Senin pagi.
Dan hari ini, aku mengendarai mobil menuju kantor dengan roh
dan nyawa yang masih tertinggal di kasur. Mata kreyep-kreyep tanda masih ingin melanjutkan tidur.
Seperti biasa aku memasang radio favorit di pagi hari. Tiga penyiar pria yang ancur dan bocor, yang selalu membuatku tertawa setiap paginya. Rasanya hampir tak pernah ada siaran mereka yang serius dan berbobot. Tapi kali ini berbeda. Mereka menerima sebuah sms dari pendengar yang isinya, "Salah ga kalau gua memilih untuk hidup sendiri selamanya?"
Seperti biasa aku memasang radio favorit di pagi hari. Tiga penyiar pria yang ancur dan bocor, yang selalu membuatku tertawa setiap paginya. Rasanya hampir tak pernah ada siaran mereka yang serius dan berbobot. Tapi kali ini berbeda. Mereka menerima sebuah sms dari pendengar yang isinya, "Salah ga kalau gua memilih untuk hidup sendiri selamanya?"
Si penyiar menelepon pengirim sms yang ternyata adalah
perempuan. Pembicaraan via telepon pun berlangsung on air.
Sambil menyetir, aku mendengarkan radio ini dengan seksama.
A (penyiar): Kenapa koq kamu bilang pengin hidup sendiri
selamanya?
B (pendengar): Karena aku uda ga sempurna.
A: Loh kenapa ga
sempurna?
B: Rahim aku uda
diangkat.. Karena kanker.
*hening sesaat
A: Usia kamu berapa sekarang?
B: 22 tahun
Suasana radio yang biasa penuh banyolan konyol pun berubah. Hening.. Aku pun tercengang sambil terus mengendarai mobilku. Aku percaya itu adalah kisah nyata. Sebuah cerita yang menyentuh dan menamparku di Senin pagi ini. Aku yang tadinya menyetir dengan setengah terkantuk pun langsung menjadi segar. Ada sesuatu yang menyesak di dada ini. Meskipun tak mengenal gadis itu, tapi aku seperti bisa merasakan beratnya masalah yang dia hadapi. Aku langsung memposisikan diri sebagai dia. Dia masih terlalu muda. 22 tahun, masa muda yang seharusnya penuh dengan semangat, canda, tawa. Tapi dia harus mengalami kisah berat saat rahimnya diangkat dan menerima kenyataan bahwa selamanya dia tak akan pernah bisa mengandung. Belum lagi judgement dari lingkungan yang secara tidak langsung mengatakan dia tak lagi sempurna.
Sempurna?
Bukankah tidak ada satupun dari kita yang terlahir sempurna?
Ya memang kita terlahir dengan kelebihan dan kekurangan. Tapi
hidup tanpa rahim sepertinya mutlak menjadi perempuan tidak sempurna. Gadis itu
terlalu muda untuk menghadapi beratnya kenyataan hidup.
Huffhh...
Aku pun hanya mampu terdiam mendengar kisah tersebut. Betapa kurang bersyukurnya aku selama ini. Saat hidupku berjalan kurang mulus, aku mulai protes tanpa pernah kusadari bahwa aku masih jauh lebih beruntung dari orang-orang di luar sana. Aku memiliki fisik lengkap, hidup yang baik. Tapi hanya karena lelah mendera, aku akan ngambek. Padahal seharusnya aku bersyukur untuk setiap detil kehidupan yang kumiliki. Harusnya aku bersyukur bahwa kesulitan yang kuhadapi tak ada bandingnya dengan apa yang banyak orang alami di luar sana.
Aku pun hanya mampu terdiam mendengar kisah tersebut. Betapa kurang bersyukurnya aku selama ini. Saat hidupku berjalan kurang mulus, aku mulai protes tanpa pernah kusadari bahwa aku masih jauh lebih beruntung dari orang-orang di luar sana. Aku memiliki fisik lengkap, hidup yang baik. Tapi hanya karena lelah mendera, aku akan ngambek. Padahal seharusnya aku bersyukur untuk setiap detil kehidupan yang kumiliki. Harusnya aku bersyukur bahwa kesulitan yang kuhadapi tak ada bandingnya dengan apa yang banyak orang alami di luar sana.
Hei para wanita di luar sana, dalam sehari seberapa sering
kita mengeluh tentang kurang sempurnanya fisik kita?
“Duh, poni gua lepek ni…”
“Ah, ini jerawat gede banget sih!”
“Wah, bisa ga ya idung g dibikin mancung?”
“Uuhhh… Tangan gua kayak tukang pukul ni.”
Di saat kita mengeluarkan berjuta keluhan itu, di luar sana
ada orang yang sedang berjuang untuk tetap melanjutkan hidup tanpa rahim. Dia bahkan
tak sempat berpikir tentang semua hal yang kita keluhkan.
Senin pagi disuguhi refleksi dan banyak hal yang
menyadarkanku. Luar biasa…
Tuhan, aku begitu bersyukur untuk pipi chubbyku, untuk tubuh mungilku, untuk mata sipitku, untuk hidung
pesekku. Aku mau terus bangga atas semua yang ada pada diriku sekarang.
Kulanjutkan perjalanan menuju kantor sambil berkata dalam
hati, 'Terima kasih, Tuhan atas segalanya.. Kumohon beri kekuatan pada gadis
itu, agar dia percaya bahwa rencanaMu selalu indah..'
Comments
Post a Comment